Ilustrasi sektor pertambangan
Jakarta - Pemerintah memberi sinyal kuat untuk memberikan relaksasi (pelonggaran) izin ekspor pertambangan mineral, baik ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat. Sinyal ini muncul setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada awal Januari 2017.
Kebijakan ini mendapat protes keras dari Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah menegaskan bahwa kebijakan ini secara nyata melabrak amanat UU Minerba pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
"Kebijakan ini juga bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009," ujar Maryati.
Tidak hanya itu, kebijakan relaksasi ekspor pertambangan mineral juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
"Karena itu, kami mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat," tandas Maryati.
Ini Tiga Komoditas yang Genjot Ekspor Indonesia
Relaksasi Ekspor Tambang