Kamis, 21/11/2024 19:32 WIB

Internasional

Indonesia Diminta Waspada Soal Ekspansi China di Laut Cina Selatan

Ahli Sinologi dan guru besar University of Tokyo, Jepang, Prof. Shin Kawashima, meminta pemerintah Indonesia meningkatkan keamanan perbatasan di perairan, serta mewaspadai ekspansi yang dilakukan Tiongkok di Laut China Selatan.

Pulau Paracel di Laut Cina Selatan (foto: BBC)

Jakarta – Ahli Sinologi dan guru besar University of Tokyo, Jepang, Prof. Shin Kawashima, meminta pemerintah Indonesia meningkatkan keamanan perbatasan di perairan, serta mewaspadai ekspansi yang dilakukan Tiongkok di Laut China Selatan. Sebab, data tahun 2014 menunjukkan bahwa aktivitas militer udara China di kawasan tersebut mengalami peningkatan untuk kali pertama pasca perang dingin 1984.

Peringatan tersebut dikatakan Kawashima harus diindahkan pemerintah Indonesia. Pasalnya, Kepulauan Natuna yang berada agak menjorok ke dalam kawasan Cina Selatan/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Laut Cina Selatan, besar kemungkinan besar akan direbut oleh Tiongkok, sebagaimana yang selama ini juga dilakukan terhadap pulau-pulau kecil yang sebelumnya dimiliki Jepang.

Cina memiliki karakter yang sewenang-wenang. Siapa pun harus mengikuti aturan main mereka,” kata Kawashima saat berbicara dalam seminar bertajuk ‘‘National Seminar on Maritime Border Resource Management’ di Jakarta, Kamis (16/2).

Pada awal abad ke-19, hampir seluruh pulau di Laut China Selatan bukan merupakan bagian dari negara manapun. Namun, pada 1920-1930, Kepulauan Pracel dan Spratly diklaim oleh China, Perancis, Jepang, dan Indo-cina.

Secara mengejutkan pada 1940-an China membuat 11 garis putus-putus untuk mengklaim bahwa wilayah dan pulau yang berada dalam garis putus-putus tersebut merupakan teritorial China. Ketetapan ini juga dikuatkan dengan mundurnya Jepang atas kepemilikan di Kepulauan Spratly pada 1952, meskipun belum ada keputusan administratif mengenai siapa pengelola Kepulauan Spratly pasca ditinggalkan oleh Jepang.

Tiongkok akhirnya mengurangi 11 garis, menjadi sembilan garis putus-putus, setelah negeri Tirai Bambu itu memutuskan untuk membantu Vietnam Utara yang waktu itu sedang berperang melawan Amerika. Tahun 1974, pasca pasukan AS keluar dari Vietnam, China kembali merebut Kepulauan Paracel, lalu mendapatkan tambahan enam pulau di Kepulauan Spratly pada 1988.

Langkah Tiongkok berhenti sampai di sana. Setelah AS keluar dari agresi di Filipina pada 1992, China merebut kawasan karang Mischief, dan beberapa pulau lainnya pada 1995. Bahkan Cina memberlakukan undang-undang teritorial perairan, yang menyatakan bahwa Kepulauan Senkaku dan pulau-pulau di Cina Selatan/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Laut Cina Selatan adalah milik Cina. Kebijakan itu yang berlaku hingga saat ini.

Kebijakan politik tersebut menurut Kawashima, pernah meredup saat China dipimpin oleh Hu Jintao, mengingat China tidak memiliki sejarah kekuasaan di perairan. Namun sejak Xi Jinping naik sebagai presiden pada Maret 2013, China kembali menerapkan kebijakan tersebut, bahkan lebih agresif dari sebelumnya.

“Di bawah kepemimpinan Xi, Cina mulai melakukan reklamasi dan membangun markas-markas militer mereka di Cina Selatan/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Laut Cina Selatan,” ujar Kawashima.

“Inilah mengapa mereka tidak suka kalau negara-negara di Asia Tenggara bersatu,” tandasnya.

KEYWORD :

Laut Cina Selatan Cina Perbatasan Perairan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :