Kapolri Jenderal Tito Karnavian
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Dia ingin pensiun dini dan kemungkinan tidak akan menyelesaikan tugasnya sampai tahun 2022. Tito beralasan pekerjaan sebagai Kapolri membuatnya stress dan ingin menghabiskan waktunya untuk keluarga.
Pernyataan Tito disampaikan seusai upacara HUT Bhayangkara ke-71 di Jakarta. Beberapa hari sebelumnya dalam sebuah wawancara di stasiun tv swasta, Tito juga sudah menyampaikan keinginannya untuk pensiun dini.
“Kalau saya menjadi Kapolri lebih dari lima tahun, bisa bosan saya. Lembaga juga bosan.” ujarnya.
Ada beberapa hal yang dapat kita tafsirkan dari pernyataan Tito yang baru setahun menjadi Kapolri tersebut.
Pertama, pangkat, jabatan dengan berbagai fasilitas dan status sosial ternyata memang bukan segala-galanya. Kedua, beban Kapolri sungguh sangat berat. Ini semakin membenarkan bahwa sebagai lembaga Polri telah overloaded. Ketiga, tekanan politik yang sangat tinggi terhadap Kapolri pribadi, maupun Polri sebagai institusi. Keempat, sebagai tes pasar, sekaligus juga test untuk para stakeholder.
Pangkat dan jabatan bukan segala-galanya.
Dari sudut pandang ini pilihan sikap Jenderal Tito sangat wajar dan manusiawi. Antara harapan, keinginan dan realita ternyata tak selalu berbanding lurus.
Kebanyakan orang memang ingin mengejar jabatan, kekuasaan, kekayaan dan ketenaran. Itu semua normal-normal saja.
Seperti sebuah gunung yang indah dari kejauhan, banyak orang yang ingin mendakinya dengan bersusah payah. Namun ketika sampai di puncak, ternyata tak seindah yang dibayangkan.
Di tengah perjalanan mereka menemukan kenyataan gunung yang tampak biru atau menghijau dari kejauhan, ternyata botak di sana-sini, karena pepohonan yang banyak ditebang.
Begitu sampai di puncak, terutama gunung yang sangat tinggi, ternyata anginnya bertiup sangat kencang, udaranya sangat dingin, menggigilkan. Tak ada tempat berlindung. “Cuacanya” bisa sangat kejam dan menyebabkan kematian.
Hanya orang-orang yang kesehatan fisik dan mentalnya sangat kuat yang bisa bertahan dan menikmati suasana di puncak sebuah gunung tinggi.
Jabatan tinggi, kekuasaan, ketenaran membutuhkan pengorbanan. Yang paling terkena dampaknya langsung adalah kebebasan pribadi dan waktu untuk keluarga.
Situasi inilah yang secara tersurat disampaikan oleh Jenderal Tito. Dia ingin punya waktu luang yang lebih banyak untuk keluarga. Pekerjaan yang less stressfull.
Sebagai penegak hukum yang menghabiskan sebagian besar karirnya di lingkungan anti terror, bisa dipastikan kehidupan Tito dan keluarganya tidak bisa disamakan dengan keluarga biasa, bahkan keluarga polisi pada umumnya sekalipun.
Kehidupannya serba rahasia. Penuh mengandung mara bahaya.
Karenanya Jenderal Tito memilih menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri, jauh dari ancaman, jauh dari orang-orang yang menjadi “korban” perang teror yang dipimpinnya.
Pilihan yang mungkin akan diambil oleh Jenderal Tito dengan pensiun dini mengingatkan kita kepada pepatah “Uang (jabatan) tidak bisa membeli segalanya.” Money can’t buy everything. Tapi jangan lupa, tanpa uang, Anda juga tidak bisa membeli apa-apa.
Beban Kepolisian sangat berat
Pernyataan Jenderal Tito bisa juga dilihat dari sudut pandang bahwa lembaga kepolisian memang sudah kelebihan beban. Dalam istilah mantan Komandan Korps Marinir TNI AL yang kemudian menjadi Inspektur Jenderal Dephan, Letjen (Purn) Suharto sudah overloaded.
Bagaimana tidak kelebihan beban? Polri menangani berbagai persoalan dari yang bersifat administratif, seperti SIM, STNK, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), izin keramaian, izin kegiatan Ormas dan kegiatan Parpol, sampai persoalan Keamanan dan Kertiban Masyarakat (Kamtibmas).
Polisi juga menangani masalah kriminal, narkoba, perdagangan manusia, anti terror, lalu lintas, urusan arus mudik, dan rencananya juga ditambah dengan wewenang di bidang Tindak Pidana Korupsi.
Yang paling berat saat ini adalah polisi ternyata harus banyak berurusan dengan umat Islam dan para ulama.
Bagaimanapun polisi bukanlah superman, yang bisa menangani segalanya. Orang atau bahkan lembaga yang kelebihan beban, bisa stress.
Pada individu dampak stress bisa berwujud pada emosi, menarik diri, agresif, bermusuhan, cemas, curiga, merasa tak berguna dan menyalahkan lingkungan.
Sementara bagi organisasi dampaknya berupa iklim kerja yang tidak baik, pengembangan karir yang tidak jelas, menurunnya produktivitas, munculnya ketidakpuasan kerja, banyak membolos Dll.
Kalau seorang Kapolri saja sampai stress, bagaimana dengan para bawahannya yang langsung berada di lapangan?
Jadi Presiden dan juga DPR sudah waktunya untuk memikirkan jangan lagi menambah-nambahi beban kepolisian. Kalau bisa malah seharusnya dikurangi.
Tugas penerbitan SIM dan lalu lintas bisa diserahkan ke Departemen Perhubungan. Urusan pajak yang berkaitan dengan STNK diserahkan ke Ditjen Pajak. Anti teror bisa diserahkan atau berbagi tugas dengan TNI. Masalah izin keramaian dan kegiatan parpol diserahkan ke Pemda Dll. Kasihanilah Polisi.
Beban Jenderal Tito kian berat dengan berbagai persoalan internal di lingkungan kepolisian. Tewasnya seorang taruna Akpol karena aksi kekerasan dari para seniornya, kisruh penerimaan calon taruna Akpol di Polda Jabar, tuntutan pengungkapan kasus penyidik KPK Novel Baswedan, pengeroyokan ahli IT ITB Hermansyah, sampai soal korupsi yang masih tinggi.
Berdasarkan sebuah survei Polri bersama DPR dan Kejaksaan adalah lembaga yang tingkat kepercayaan dari publik sangat rendah.
Soal ini diakui oleh Tito sebagai beban berat yang harus diselesaikan.
“Ini jadi problem bagi kita. Kinerja kita dianggap rendah karena kultur korupsi luar biasa dalam tubuh kita. Semua berpikir bagaimana caranya lomba-lomba cari uang. Ini jadi budaya dianggap diterima di lingkungan kita, rebutan jabatan basah,” tegasnya pada suatu kesempatan.
Tito menambahkan, sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri, Polri diberi anggaran terbesar dalam sejarah Polri yaitu Rp73 triliun dan jumlah personel polri melebihi TNI Angkatan Darat.
Namun, kurva kepercayaan publik malah menurun dari tahun ke tahun karena kinerja dianggap rendah, budaya organisasi atau kultur karakter perseorangan mengecewakan publik.
“Penegakan hukum dianggap belum profesional, dikriminasi, pilih-pilih, tidak ada duit ditinggalkan atau tidak diproses, ada duit dikejar-kejar, tergantung pesanan,” ujarnya.
Tekanan Politik yang Sangat Tinggi
Selain beban pekerjaan, tekanan politik terhadap polisi juga sangat tinggi. Pilkada DKI 2017 dan penistaan agama oleh Gubernur DKI Ahok membuat polisi menjadi institusi yang harus berurusan dengan masalah politik.
Polisi dihadapkan pada situasi harus berhadapan dengan umat Islam terutama dalam berbagai Aksi Bela Islam dan kemudian dengan para ulama.
Ada ulama yang ditahan karena tuduhan makar seperti Ustad Al Khattath, karena pencemaran nama baik seperti Ustadz Alfian Tanjung dan tuduhan percakapan (chat) sex seperti yang menimpa Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI Habib Rizieq Shihab.
Untuk kasus Habib Rizieq, polisi dalam bahasa pakar hukum Yusril Ihza Mahendra, mencari-cari kesalahan. Secara umum publik dan media menyebutnya sebagai kriminalisasi.
Polisi dinilai menjadi alat kekuasaan kelompok tertentu dalam hal ini para pemilik modal yang berkepentingan dalam Pilkada DKI dan menjadi alat untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
Bagi Tito pribadi situasi ini pasti dirasakan sangat berat. Sebelum menjadi Kapolri hubungan Tito dengan FPI, khususnya Imam Besar FPI Habib Rizieq sangat dekat. Tito juga pernah hadir dalam acara yang digelar oleh FPI dan memuji FPI sebagai kelompok yang toleran.
Ketika masih menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito juga sangat rajin sowan ke berbagai tokoh agama dan para ulama.
Sekarang terlepas apakah Tito bertindak sendiri, ada “order”, atau institusi Polri di luar kuasa Tito menerima “order” dari pihak lain sehingga terkesan memusuhi ulama dan umat Islam, semua telunjuk terarah kepadanya.
Sebagai muslim yang baik, situasi semacam itu pasti akan membuatnya tertekan, atau setidaknya membuat tidak nyaman.
Tito pastilah termasuk orang masih percaya pada hari akhir. Pada perhitungan amal baik dan amal buruk. Percaya kepada hari pembalasan.Dia pasti percaya itu bukan sebuah ramalan, atau bualan seorang ulama. Dia pastilah ingin Husnul khotimah.
Tes reaksi pasar
Bila dilihat dari strategi dan intrik kekuasaan, pernyataan Kapolri bisa dinilai sebagai sebuah test pasar.
Dari sisi publik dia ingin melihat reaksi pasar, apakah langkah-langkahnya didukung.
Masih ingat kan bagaimana dalam sebuah forum dia meminta “silent majority” tidak tinggal diam, bergerak menjaga keberagaman, menjaga kebhinekaan. Ucapan Kapolri ini jelas ada kaitannya dengan berbagai Aksi Bela Islam.
Dari sisi para stakeholder dalam hal ini Presiden, Tito ingin melihat bagaimana reaksinya. Apakah posisinya masih cukup kuat di mata Presiden.
Bagaimanapun Tito adalah Kapolri pilihan Jokowi dengan mengesampingkan Komjen Budi Gunawan yang didukung oleh Ketua Umum PDIP Megawati.
Keputusan Presiden menunjuk Tito menyebabkan peluang Budi Gunawan menjadi Kapolri menjadi tertutup.
Padahal setelah memenangkan gugatan pra peradilan atas KPK secara hukum, pengangkatan Budi sebagai Kapolri bisa terus dilanjutkan.
Sebagai kompensasinya Presiden menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan menaikkan pangkatnya menjadi jenderal bintang empat sama dengan Tito. Jadilah di kepolisian ada dua bintang empat aktif.
Peristiwa ini seperti mengulang saat pergantian Kapolri Jenderal Sutarman kepada Jenderal Badrodin Haiti. Di Mabes Polri ada dua jenderal bintang empat aktif.
Bedanya Sutarman non job, sementara Budi Gunawan mempunyai jabatan yang selevel dengan kementerian negara.
Walaupun berbeda institusi, adanya dua bintang kembar itu pasti menimbulkan implikasi. Budi Gunawan (Akpol 83) lebih senior dari Tito (Akpol 87). Secara pengaruh maupun dukungan politik Budi juga lebih kuat dibanding Tito.
Tito bukan tidak menyadari bahwa pengangkatannya sebagai Kapolri melompati beberapa angkatan. Hal itu sangat berpengaruh pada tradisi urut kacang yang selama ini berlaku. Ada beberapa seniornya yang karirnya menjadi terhambat.
Karena itu pernyataan Tito juga bisa dilihat sebagai upaya menenangkan kalangan internal. Kalau dia bertahan sampai tahun 2022, maka gerbong karir di kepolisian bakal banyak yang tersendat.
Bila Tito memutuskan pensiun lebih dini, maka secara pribadi dia juga bisa senang, terhindar dari stress, secara organisasi juga senang, karena jenjang karir angkatan di bawahnya, bahkan mungkin angkatan di atasnya (Akpol 86, 85, 84 dan 83) menjadi kembali terbuka.
Sebagai pimpinan tertinggi Polri, Tito ingin menyampaikan pesan "mohon tenang dan bersabar. Semua akan mendapat giliran."
Di luar semua itu, spekulasi lain yang berkembang, keputusan Tito pensiun dini merupakan persiapan untuk ikut maju dalam Pilpres 2019.
Kemungkinan untuk itu rasanya sangat kecil. Jadi Kapolri saja sudah cukup stress, apalagi menjadi seorang Presiden. Atau jangan-jangan jadi Presiden tidak lebih stress dibandingkan Kapolri? Karena kalau ada apa-apa Presiden kan tinggal perintah Kapolri.
*Konsultan Media dan Politik
KEYWORD :Hersubeno arief kapolri tito karnavian pensiun