Rafiuddin D Soaedy
Tekad pemerintah membubarkan ormas anti Pancasila telah ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Penerbitan Perppu ini diharapkan menjadi solusi yang efektif ketika langkah pembubaran ormas melalui pintu Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) terlalu panjang dan berbelit-belit.
Di kalangan elit politik, tokoh masyarakat, aktivis LSM, dan pengamat, penerbitan Perppu ini menyulut perdebatan. Yang menarik, arus utama perdebatan itu bukan soal setuju atau tidak setuju ormas anti Pancasila dibubarkan, tetapi lebih pada tepat atau tidaknya instrumen Perppu digunakan.
Perdebatan yang panas itu kemudian meruncing pada dua isu. Pertama, soal terpenuhi atau tidaknya hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dapat dikeluarkannya sebuah Perppu. Kedua, soal tidak dilibatkannya pengadilan dalam proses pembubaran ormas.
Saya sendiri menilai penerbitan Perppu Ormas ini tidak bermasalah secara yuridis. Dalam perspektif Perppu, yang menentukan adanya kegentingan yang memaksa adalah pandangan subyektif Presiden. Ketika Presiden melihat maraknya kegiatan ormas anti Pancasila sebagai persoalan genting yang harus segera diselesaikan, boleh saja instrumen Perppu digunakan. Sementara mengenai perlu tidaknya pengadilan dilibatkan dalam pembubaran ormas, hal itu bersifat opsional saja. Memang pembubaran ormas dengan melibatkan pengadilan akan menjadi lebih fair. Namun, ketika opsi sebaliknya yang dipilih, tidak berarti keadilan tak mungkin dicapai. Keadilan tetap dapat diberikan oleh pengadilan melalui mekanisme gugatan.
Perppu, terlepas dari materi perdebatan Perppu Ormas, sebagai produk hukum yang dihasilkan sepihak, sebenarnya tak kebal uji. Sistem ketatanegaraan kita telah menyediakan dua mekanisme pengujian Perppu. Pertama, pengujian secara dini melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi. Kedua, pengujian secara reguler melalui mekanisme political review di DPR. Melalui dua mekanisme itulah kesewenang-wenangan Presiden dalam menjalankan fungsi legislasi dapat dihukum.
Kewenangan mengeluarkan Perppu merupakan hak istimewa Presiden sebagai pemangku kekuasaan yang bertanggung jawab menjalankan pemerintahan dan menyelamatkan negara. Terlebih dalam sistem pemerintahan presidensial, Perppu menjadi semacam senjata pamungkas bagi Presiden yang dapat dikeluarkan pada saat terdesak.
Dalam sejarah ketatanegaraan kita, Perppu sudah dikenal sejak awal negara ini berdiri. Data yang dilansir Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham menunjukkan jumlah Perppu kini telah mencapai ratusan. Tercatat sebanyak 144 Perppu diterbitkan Presiden Soekarno, 8 Perppu diterbitkan Presiden Soeharto, 3 Perppu diterbitkan Presiden Abdurrahman Wahid, 3 Perppu diterbitkan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, 4 Perppu diterbitkan Presiden Megawati, 19 Perppu diterbitkan Susilo Bambang Yudhoyono, dan 3 Perppu diterbitkan Presiden Joko Widodo.
Dari data tersebut dapat dilihat adanya korelasi antara produktivitas penerbitan Perppu dengan instabilitas kekuasaan. Hal ini tentu bukan sesuatu yang aneh mengingat instabilitas kekuasaan berpotensi menggagalkan penyelenggaraan negara. Justru dalam kondisi negara tidak stabil penerbitan Perppu diperlukan. Yang menarik dicermati dari data tersebut sebenarnya adalah tingginya produktivitas penerbitan Perppu sejak sistem ketatanegaraan kita mengadopsi pemilihan presiden secara langsung.
Semenjak diterapkannya pemilihan presiden secara langsung, tercatat sudah 22 Perppu diterbitkan. Perlu digarisbawahi di sini bahwa dari 22 Perppu itu, sebanyak 18 Perppu dikeluarkan pada periode pertama Presiden Yudhoyono memerintah. Hal ini membuka peluang pembacaan secara politis.
Pertama, bahwa Presiden yang dipilih secara langsung memiliki legitimasi yang sangat kuat sehingga tidak segan-segan menggunakan kewenangannya menerbitkan Perppu. Kedua, dalam sistem pemilihan presiden secara langsung, faktor popularitas sangat menentukan keterpilihan, sehingga setiap isu yang bersifat populis akan menggoda Presiden untuk menumpanginya melalui penerbitan Perppu.
Perppu, sesering apapun diterbitkan Presiden, dalam kacamata demokrasi prosedural, sah-sah saja. Tetapi, sesuatu yang tidak menyalahi prosedur demokrasi belum tentu senapas dengan substansi demokrasi itu sendiri. Sebagai sistem politik, demokrasi memiliki nilai intrinsik yang harus dijunjung oleh setiap pilarnya. Dalam hal ini, dialog dan kerja sama antarpilar perlu dikedepankan supaya sistem berjalan dengan sehat. Jangan sampai hanya karena fatsun yang tidak diindahkandemokrasi kita tak kunjung beranjak matang.
*Pemerhati Hukum Tata Negara
KEYWORD :Rafiuddin soeady perppu anti pancasila