Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi
Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik
RK dianggap “lancang” karena mau berpartner dengan kader Golkar, tanpa berbicara atau meminta izin DPD Golkar Jabar. Sekretaris DPD Golkar Jabar Ade Barkah secara sarkas menyarankan agar RK berkoalisi dengan “Partai Pantura”. Soal internal Golkar ini harus diselesaikan bila “pernikahan” keduanya ingin berjalan mulus. Bila benar RK jadi dipasangkan dengan Demul, maka akan muncul kekecewaan dari kubu Yance, karena anaknya tidak jadi digandeng RK. Sebagai mantan ketua DPD Golkar dan Bupati Indramayu selama dua periode, kekuatan Yance tidak boleh diremehkan. Apalagi istrinya Anna Sophannah kini juga menjadi Bupati Indramayu untuk periode kedua. Potensi penggembosan suara pemilih Golkar dan pemilih di kawasan Pantura sangat besar. Kedua, bila RK-Demul dipasangkan sebagai calon yang mewakili kepentingan partai-partai pendukung Jokowi, bagaimana dengan posisi PDIP? Jumlah kursi PDIP telah memenuhi syarat pencalonan. Mereka memiliki 20 kursi. PDIP bisa mengusung cagub/cawagub sendirian, tanpa perlu berkoalisi.Apakah PDIP bersedia memberikan “kereta kencananya” kepada RK-Demul tanpa kompensasi apapun? Soal itu harus benar-benar diperhitungkan.Bila hitung-hitungannya tidak cocok, maka sangat mungkin PDIP akan mengusung calon sendiri. Seandainya PDIP tetap ingin mengusung RK sebagai cagub, maka dia bisa “memaksa” untuk mendapatkan jatah posisi sebagai cawagub. Demul bisa gigit jari.Isyarat PDIP akan menolak perjodohan RK-Demul sudah disampaikan oleh Sekretaris DPD PDIP Jabar Abdi Yuhana. “Tidak mungkin. Itu sangat kecil kemungkinannya” tegasnya seperti dikutip sebuah media.Posisi PDIP menjadi sangat kuat, karena dalam berbagai Pilkada maupun Pilpres, mesin politiknya terbukti sangat solid dan bisa sangat diandalkan. Sebaliknya mesin politik Nasdem belum cukup teruji dan terbukti, sementara mesin politik Golkar terbukti tidak pernah berjalan efektif.Dalam berbagai pilkada maupun pilpres, loyalitas kader Golkar lebih pada perorangan, bukan pada partai. Pada Pilpres 2004 Golkar mengusung pasangan capres/cawapres Wiranto-Shalahudin Wahid hanya berada di peringkat tiga. Perolehan suaranya kalah dari SBY-JK yang diusung Demokrat dan Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDIP.Kejadian serupa terulang pada Pilpres 2009 Golkar mengusung pasangan JK-Wiranto berada di peringkat tiga berada di bawah pasangan SBY-Budiono (Demokrat) dan Megawati-Prabowo (PDIP-Gerindra). Di Pilgub Jabar 2008 dan 2013 calon yang diusung Golkar juga tidak berkutik.Ketiga, resistensi dan skenario Pilkada DKI. Jika partai-partai pendukung pemerintah bisa menyatukan kekuatannya mendukung RK-Demul, maka skenario Pilkada DKI 2017 kemungkinan besar akan terulang di Jabar. Mengapa? Pertama, faktor figur. Kedua, faktor partai pengusung. Ketiga, konstelasi politik nasional.
Saling melengkapiPertama, Dari sisi umat Islam RK dan Demul adalah figur yang saling melengkapi, namun dalam konotasi yang negatif. Efek negatif RK akan menjadi berganda bila dipasangkan dengan Demul.RK selama ini dicitrakan sebagai figur yang mengagumi dan mengasosiasikan dirinya seperti mantan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Citra tersebut kian kuat ketika RK mendeklarasikan diri sebagai cagub dari Nasdem. Partai yang pertamakali mendukung Ahok dalam Pilkada DKI juga Nasdem. Jadi RK berada dalam kubu pendukung penista agama.Demul selama menjadi Bupati Purwakarta banyak melakukan aktivitas yang oleh kalangan ulama disebut sebagai sinkritisme. Mencampur-adukkan akidah Islam dengan ritual tradisional. Ada pula yang menuding Demul ingin menghidupkan kembali “Sunda wiwitan,” sebuah kepercayaan animisme sebelum Islam masuk ke Jabar. Jika keduanya bergabung, maka resistensi ulama dan umat Islam akan menyatu dan membesar. Jadilah keduanya diposisikan sebagai lawan umat Islam.Kedua, jika partai-partai pengusung pemerintah solid mengusung RK-Demul, maka memori kolektif umat akan Pilkada DKI dengan sendirinya akan muncul kembali. Lawan politiknya akan mudah mengkapitalisasi.Benar keduanya adalah pasangan yang secara elektabilitas tinggi seperti halnya Ahok, namun akan kalah karena resistensi umat. Secara demografis sentimen keagamaan di Jabar jauh lebih kuat dibanding DKI.Ketiga, komitmen RK mendukung Jokowi pada Pilpres 2019, akan membuat mereka terkena imbas kondisi psikologi umat Islam. Saat ini umat sedang tidak nyaman dengan pemerintahan Jokowi. Lahirnya Perppu Ormas, UU Pemilu, wacana penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur dan berbagai kasus lainnya, membuat hubungan Jokowi dengan umat Islam kian menegang. Semua kalkulasi politik itu akan membuat RK-Demul bila jadi dipasangkan, harus berjuang keras untuk memenangkan pertarungan. RK-Demul akan menjadi pasangan ideal, tapi tidak akan menjadi pasangan yang sakinah, mawadah, warohmah. Mereka tidak mendapat restu dari para ulama dan umat Islam.Bila ini terjadi, maka situasinya seperti sebuah pesta pernikahan yang megah dan mewah, namun sepi undangan. Pasangan mempelainya tampan dan cantik, dari keluarga terpandang, turut mengundangnya tokoh besar, namun tamu undangan yang hadir hanya sedikit. Itu bisa menjadi sebuah tragedi.Jangan lupa dalam dua pilkada terakhir, Jabar telah menjadi kuburan tokoh-tokoh yang terlalu percaya diri pada modal popularitas dan elektabilitas. end KEYWORD :
Opini Hersubeno Arief