Sabtu, 23/11/2024 21:42 WIB

Opini

Pilkada Jabar : Menjodohkan Ridwan Kamil dengan Dedi Mulyadi

Jangan lupa dalam dua pilkada terakhir, Jabar telah menjadi kuburan tokoh-tokoh yang terlalu percaya diri pada modal popularitas dan elektabilitas.

Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi

Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar tengah mencoba jadi mak comblang. Mereka punya hajat  untuk menjodohkan Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi (Demul) sebagai “pengantin” pada Pilgub Jawa Barat (Jabar) 2018.

Seperti dikatakan oleh Sekjen Golkar Idrus Marham, bila bisa berjodoh,  RK-Demul  akan menjadi pasangan ideal. Dalam bahasa agama, mereka sekufu alias cukup sepadan, setara.

Dinilai dari popularitas dan elektabilitas sebagai dua syarat utama kelayakan pasangan kandidat, kata Idrus, mereka punya potensi besar akan memenangkan Pilkada.

Dalam berbagai survei elektabilitas RK selalu berada di peringkat teratas. Demul berada dalam posisi lima besar. RK kuat di perkotaan, Demul kuat di kabupaten dan pedesaan. RK diharapkan bisa mendulang suara di Bandung dan kawasan Priangan Timur. Sementara Demul diharapkan bisa menggaet suara di kawasan Pantai Utara (Pantura).

Hitung-hitungan di atas kertas, pasangan RK-Demul adalah “pengantin” ideal, dalam bahasa Sunda moal aya layan (tidak ada lawan). Tidak hanya ideal dari sisi potensi mendulang kemenangan, namun juga ideal untuk mengamankan Jokowi pada Pilpres 2019.

Golkar dan Nasdem adalah dua partai yang paling awal sudah mendeklarasikan diri sebagai partai yang akan mengusung Jokowi sebagai capres.

Resistensi akan sangat besar

Kendati secara kalkulasi matematis RK-Demul adalah pasangan ideal, namun seperti kata para karuhun, para sesepuh,  perjodohan itu sama halnya dengan pilih-pilih tebu. Pasti ada cacatnya. Ada yang bongkeng. Tidak ada yang benar-benar sempurna.

Ada beberapa pertimbangan yang harus benar-benar diperhitungkan, sebelum akhirnya  keduanya dijodohkan.

Pertama, bagaimana pembagian posisinya. Siapa menjadi gubernur dan siapa yang menjadi wakil? Kedua, bagaimana peran dan jatah posisi untuk partai pendukung pemerintah lainnya. Ketiga, potensi resistensi dan pengulangan skenario Pilkada DKI.

Pertama, pembagian posisi seperti kata Idrus Marham akan dibicarakan lebih lanjut. Kendati rekomendasi dari DPP Golkar untuk Demul sebagai cagub, namun tidak menutup kemungkinan menjadi cawagub.

Maukah Demul menjadi cawagub RK, atau sebaliknya? Dari sisi modal, Golkar mempunyai 17 kursi di DPRD Jabar. Sementara Nasdem yang mengusung RK hanya memiliki 5 kursi. Total keduanya memiliki 22 kursi, atau sudah lebih dari syarat minimal untuk dapat mengusung calon sebanyak 20 kursi.

Biasanya calon yang mempunyai jumlah kursi lebih banyak,  mendapat jatah sebagai cagub. Sementara yang lebih kecil jumlah kursinya mendapat jatah cawagub. Namun secara popularitas dan elektabilitas RK –setidaknya begitu berdasarkan survei—lebih tinggi dari Demul.

Jadi soal bagi-bagi siapa yang akan jadi cagub, dan siapa jadi cawagub, bakal lumayan pelik. Keduanya punya ego yang sangat kuat. Apalagi hubungan RK-Demul tidak bisa dibilang cukup baik.

Belum lama berselang, DPD Golkar Jabar cukup meradang karena aksi RK. Dia  bergerilya mencoba menggaet Daniel Mutaqien anggota DPR RI dari Golkar sebagai wakilnya. Daniel adalah anak  mantan Ketua DPD Golkar Jabar Irianto “Yance” Syaifudin.   
RK dianggap “lancang” karena mau berpartner dengan kader Golkar,  tanpa berbicara atau meminta izin DPD Golkar Jabar.

Sekretaris DPD Golkar Jabar Ade Barkah secara sarkas menyarankan agar RK berkoalisi dengan “Partai Pantura”. Soal internal Golkar ini  harus diselesaikan bila “pernikahan” keduanya ingin berjalan mulus.  Bila benar RK jadi dipasangkan dengan Demul, maka akan muncul kekecewaan dari kubu Yance, karena anaknya tidak jadi digandeng RK.

Sebagai mantan ketua DPD Golkar dan Bupati Indramayu selama dua periode, kekuatan Yance tidak boleh diremehkan. Apalagi istrinya Anna Sophannah kini juga menjadi Bupati Indramayu untuk periode kedua. Potensi penggembosan suara pemilih Golkar dan pemilih di kawasan Pantura sangat besar.  

Kedua, bila RK-Demul dipasangkan sebagai calon yang mewakili kepentingan partai-partai pendukung Jokowi, bagaimana dengan posisi PDIP? Jumlah kursi PDIP telah memenuhi syarat pencalonan. Mereka memiliki 20 kursi. PDIP bisa mengusung cagub/cawagub sendirian, tanpa perlu berkoalisi.

Apakah PDIP bersedia memberikan “kereta kencananya” kepada RK-Demul tanpa kompensasi apapun? Soal itu harus benar-benar diperhitungkan.Bila hitung-hitungannya tidak cocok, maka sangat mungkin PDIP akan mengusung calon sendiri.

Seandainya  PDIP tetap ingin mengusung RK sebagai cagub, maka dia bisa “memaksa” untuk mendapatkan jatah posisi sebagai cawagub. Demul bisa gigit jari.

Isyarat PDIP akan menolak perjodohan RK-Demul sudah disampaikan oleh Sekretaris DPD PDIP Jabar Abdi Yuhana. “Tidak mungkin. Itu sangat kecil kemungkinannya” tegasnya seperti dikutip sebuah media.

Posisi PDIP menjadi sangat kuat, karena dalam berbagai Pilkada maupun Pilpres, mesin politiknya terbukti sangat solid dan bisa sangat diandalkan. Sebaliknya mesin politik Nasdem belum cukup teruji dan terbukti, sementara mesin politik Golkar terbukti tidak pernah berjalan efektif.

Dalam berbagai pilkada maupun pilpres, loyalitas kader Golkar lebih pada perorangan, bukan pada partai. Pada Pilpres 2004 Golkar  mengusung pasangan capres/cawapres Wiranto-Shalahudin Wahid hanya berada di peringkat tiga. Perolehan suaranya kalah dari SBY-JK yang diusung Demokrat dan Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDIP.

Kejadian serupa  terulang pada Pilpres 2009 Golkar mengusung  pasangan JK-Wiranto berada di peringkat tiga berada di bawah pasangan SBY-Budiono (Demokrat) dan Megawati-Prabowo (PDIP-Gerindra). Di Pilgub Jabar 2008 dan 2013 calon yang diusung Golkar juga tidak berkutik.

Ketiga, resistensi dan skenario Pilkada DKI. Jika partai-partai pendukung pemerintah bisa menyatukan kekuatannya mendukung RK-Demul,  maka skenario Pilkada DKI 2017 kemungkinan besar akan terulang di Jabar.  Mengapa? Pertama, faktor figur. Kedua, faktor partai pengusung. Ketiga, konstelasi politik nasional.


Saling melengkapi

Pertama, Dari sisi umat Islam RK dan Demul adalah figur yang saling melengkapi, namun  dalam konotasi yang negatif. Efek negatif RK akan menjadi berganda bila dipasangkan dengan Demul.

RK selama ini dicitrakan sebagai figur yang mengagumi dan mengasosiasikan dirinya seperti mantan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok).  

Citra tersebut kian kuat ketika RK mendeklarasikan diri sebagai cagub dari Nasdem.  Partai yang pertamakali mendukung Ahok dalam Pilkada DKI juga Nasdem. Jadi RK berada dalam kubu pendukung penista agama.

Demul selama menjadi Bupati Purwakarta banyak melakukan aktivitas yang oleh kalangan ulama  disebut sebagai sinkritisme. Mencampur-adukkan akidah Islam dengan ritual tradisional.

Ada pula yang menuding  Demul ingin menghidupkan kembali “Sunda wiwitan,” sebuah kepercayaan animisme sebelum Islam masuk ke Jabar.  Jika keduanya bergabung, maka resistensi ulama dan umat Islam akan menyatu dan membesar. Jadilah keduanya diposisikan sebagai  lawan umat Islam.

Kedua, jika partai-partai pengusung pemerintah solid mengusung RK-Demul, maka memori kolektif umat akan Pilkada DKI dengan sendirinya akan muncul kembali. Lawan politiknya akan mudah mengkapitalisasi.

Benar keduanya adalah pasangan yang secara elektabilitas tinggi seperti halnya Ahok, namun akan kalah karena resistensi umat. Secara demografis sentimen keagamaan di Jabar jauh lebih kuat dibanding DKI.

Ketiga,  komitmen RK mendukung Jokowi pada Pilpres 2019, akan membuat mereka terkena imbas kondisi psikologi umat Islam. Saat ini umat  sedang tidak nyaman dengan pemerintahan Jokowi.

Lahirnya Perppu Ormas, UU Pemilu, wacana penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur dan berbagai kasus lainnya, membuat hubungan Jokowi dengan umat Islam kian menegang. Semua kalkulasi politik itu akan membuat RK-Demul bila jadi dipasangkan, harus berjuang keras untuk memenangkan pertarungan.

RK-Demul akan menjadi pasangan ideal, tapi tidak akan menjadi pasangan yang sakinah, mawadah, warohmah. Mereka  tidak mendapat restu dari para ulama dan umat Islam.

Bila ini terjadi,  maka situasinya seperti sebuah pesta pernikahan yang megah dan mewah, namun sepi undangan. Pasangan mempelainya  tampan dan cantik, dari  keluarga terpandang,  turut mengundangnya  tokoh besar, namun tamu undangan yang hadir hanya sedikit. Itu  bisa menjadi sebuah tragedi.

Jangan lupa dalam dua pilkada terakhir, Jabar telah menjadi kuburan tokoh-tokoh yang terlalu percaya diri pada modal popularitas dan elektabilitas. end

KEYWORD :

Opini Hersubeno Arief




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :