Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi)
Jakarta - Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) menuntut pemerintah memperbaiki sistem pengupahan dengan berbasis nilai keadilan. Mereka menilai kebijakan menerapkan PP 78/2015 tentang pengupahan tidak mampu mengakomodir kepentingan buruh dan pengusaha. Utamanya, dalam konteks industri padat karya.
"Serta menyisakan celah untuk menetapkan besaran upah minimum sektoral baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Terbukti munculnya SK Gubernur Jawa Barat No. 151/2017 menjadi acuan dalam penetapan upah minimum sektoral tertentu yang lebih murah," ujar Wakil Presiden DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi), Sukitman Sudjatmiko di kantor K-Sarbumusi di jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Senin (14/8).
Sukitman mengungkapkan persoalan upah hingga saat ini masih menjadi dinamika yang cukup tajam bagi dunia perburuhan. Menurutnya, tarik ulur kepentingan dalam penetapan besaran upah antara buruh dan pengusaha masih terus terjadi. Ia menambahkan buruh ingin secara terus menerus meningkatkan kualitas upah untuk menjamin kehidupannya.
“Sementara disisi yang lainnya pengusaha justru ingin menekan upah serendah mungkin agar dapat mencapai akumulasi keuntungan sebesar-besarnya,“ ungkapnya.
Sukitman menyampaikan munculnya kebijakan upah padat karya sektor tertentu lebih murah, ditetapkan mengacu pada kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh serta perintah dari pertemuan dengan wakil presiden RI. Perintah itu mengamanatkan kepada gubernur untuk segera menetapkan upah minimum sekaligus menekankan kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk segera merumuskan regulasi.
“Kenapa ini bisa terbit, substansinya ini ada celah hukum dimana pasal 44 PP 78/2015 mengamanatkan untuk diterbitkannya permenaker tentang mekanisme penetapan upah minimum, akan tetapi permenaker ini belum ada,“ paparnya.
Sukitman meminta harus ada pola-pola baru dalam menyusun upah dan kebijakan pengupahan di Indonesia.
“Kalau PP 78/2015 mempunyai celah dalam konteks penetapan upah minimum maka upah sektoral harus dielaborasi sedemikian rupa dan atau adanya upah UMKM dan sector usaha mikro, semoga ini menjadi pemikiran kita bersama," lanjutnya.
Sementara itu, Irham Ali Syaifuddin International Labour Organization (ILO) Jakarta mengatakan konsep UMP (Upah Minimum Provinsi) sudah salah kaprah sejak 72 tahun lalu. Padahal Menaker sudah berganti beberapakali dengan berbagai latar belakang. Mulai dari pihak pengusaha, buruh bahkan aktivis tapi masih belum bisa menentukan konsep UMP yang ideal.
“Perbedaan selisih antara upah minimum ditiap daerah menjadi persoalan. Akhirnya membentuk kegaduhan baru”. Kata Irham
Ketua Umum Aspek dan Wakil Ketua LKS Tripartit Nasional, Mirah Sumirat menyanggah kenaikan upah akan menimbulkan kebangkrutan terhadap pengusaha.
“Bohong sekali kalau upah naik membuat perusahaan bangkrut, contohnya di eropa upah tinggi dan jaminan dari Negara juga baik namun perusahaan malah berkembang dengan baik,“ ucap Mirah
KEYWORD :K-Sarbumusi Buruh