Sabtu, 23/11/2024 16:15 WIB

Opini

Menghidupkan Kembali `Kartu` Ridwan Kamil

Dinamika jelang Pilkada Jawa Barat  2018 kian menarik. Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) yang diperkirakan sudah menjadi “kartu mati,” ternyata mencoba bangkit kembali. Posisinya bahkan kembali menguat. 

Ridwan Kamil

Oleh : Hersubeno Arief*

Dinamika jelang Pilkada Jawa Barat  2018 kian menarik. Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) yang diperkirakan sudah menjadi “kartu mati,” ternyata mencoba bangkit kembali. Posisinya bahkan kembali menguat. 

Adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang menjadi  “nyawa baru” bagi RK. Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN di Bandung, Jabar yang berlangsung awal pekan lalu (21-23 Agst),  seperti sebuah oksigen, memberi nafas buatan bagi RK. 

Dia diberi panggung yang cukup spesial. RK berbicara berbagai “keberhasilan” program kerjanya di depan lebih dari 1.000 peserta rakernas yang terdiri dari pimpinan pusat, pimpinan wilayah dan pimpinan daerah PAN se-Indonesia. Padahal sebelumnya RK seperti penderita “penyakit menular." Dijauhi semua partai-partai politik. 

Setelah deklarasi sebagai cagub dari Partai Nasdem, stigma RK sebagai bagian pendukung Ahok, sangat kuat. Karena itu sejumlah partai terutama yang berbasis Islam seperti PPP dan PKB  cepat-cepat menghindar. Mereka tak mau lagi mengulang kesalahan ikut mendukung Ahok seperti di putaran kedua Pilkada DKI.

Ironisnya, walaupun sudah menyatakan kesediaannya mendukung pencapresan Jokowi pada Pilpres 2019, partai-partai pendukung Jokowi juga menolak RK.  PDIP dan Golkar memutuskan mengusung calon sendiri.

Alasan PDIP mereka tidak suka dengan gaya RK yang hanya butuh rekomendasi partai ketika mau mencalonkan diri. Sementara Golkar seperti dikatakan Ketua Golkar Jabar Dedi Mulyadi (Demul), merasa tidak cocok dan tidak nyambung dengan RK. PDIP dan Golkar kabarnya akan berkoalisi dengan mengusung Demul dan Puti Guntur Soekarno.

Penolakan PDIP dan Golkar membuat RK menghadapi politik jalan buntu, kuldesak.  Diluar PPP, PKB, Golkar dan PDIP, pilihan yang tersisa bagi RK tinggal Demokrat, PAN dan Hanura. 

PKS dan Gerindra induk semang RK, sudah memutuskan tidak akan mengusungnya. Mereka telah lama kecewa dengan RK yang dulu diusung dalam Pilwako Bandung 2013. PKS dan Gerindra  sudah punya calon sendiri Deddy Mizwar-Achmad Syaichu.

Agak sulit membayangkan RK bisa menggandeng Demokrat dan PAN.  Banyak spekulasi Demokrat  akan menggandeng PAN dan membentuk poros tersendiri, dengan menggandeng PPP atau PKB.

Dinamika politik nasional, membuat konstelasi politik berubah. Arus angin politik berubah dengan cepat. RK yang semula ibarat kapal sudah mati angin, ternyata kembali mendapat angin buritan. Layarnya kembali terkembang. Dia bersiap melepas jangkar.

PAN menjadi kartu truf bagi RK. Setidaknya ada dua faktor mengapa PAN yang hanya punya 4 kursi di DPRD Jabar bisa memainkan peran krusial. Pertama, bila berhasil menggandeng PAN, maka stigma bahwa RK adalah bentuk lain dari Ahok sebagai penista agama, bisa ditepis. Pada Pilkada DKI putaran kedua, PAN menjadi pendukung Anies-Sandi. Jadi PAN berdiri dalam barisan umat.

Berbeda dengan PPP (9 kursi) dan PKB (7 kursi), kendati keduanya mempunyai kursi yang lebih banyak dibandingkan PAN, namun mereka berada dalam barisan partai pendukung Ahok. PPP dan PKB pada putaran pertama bersama PAN berada dalam kubu pendukung Agus-Silvy. Namun pada putaran kedua PPP dan PKB menyeberang ke kubu Ahok.

Sesungguhnya dengan  5 kursi yang dimiliki Nasdem, maka bagi RK sudah tersedia  tiket untuk maju dalam pilgub bila menggandeng PPP dan PKB. Total kursinya 21, sudah lebih dari 20 kursi yang dipersyaratkan.  Namun gabungan ketiga partai akan membuat stigma mereka sebagai kelanjutan dari pendukung Ahok menjadi sangat kuat. Hal itu akan sangat merugikan.  Bila RK bisa menggandeng PAN, stigma itu setidaknya bisa dihapus.

Kedua, PAN mempunyai dua figur yang cukup populer, yakni artis Desi Ratnasari yang kini menjadi anggota DPR dan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. RK sudah menyatakan banyak kecocokan dengan Bima Arya.

RK dan Bima Arya adalah dua figur kepala daerah muda dan populer. Dua modal itu bisa menjadi  nilai kompetitif bagi pasangan itu untuk memenangkan pilkada Jabar.

Dalam berbagai jajak pendapat yang dilansir sejumlah lembaga survei, RK selalu memiliki elektabilitas tertinggi, diikuti oleh Deddy Mizwar (Demiz) dan Demul di urutan ketiga. Sementara Bima Arya  tingkat elektabilitasnya sangat tinggi di Kota Bogor dan masuk radar salah satu kandidat cagub atau cawagub Jabar.

Untuk mendapatkan tiket dari PAN, RK punya pekerjaan rumah yang besar. Sebab Demiz cagub yang diusung PKS-Gerindra juga diberi panggung yang sama di Rakernas PAN. Nilai minus RK terletak pada komitmennya dengan Nasdem  mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Kendati menjadi salah satu partai pendukung pemerintah, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais selalu kritis terhadap Jokowi.

Lebih dari dua calon

Dengan dinamika politik terbaru, Pilkada Jabar kemungkinan akan diikuti oleh lebih dari dua calon. Presiden Jokowi kabarnya secara aktif mendorong agar tidak terjadi lagi skenario _head to head_antara "Kubu Umat" melawan "Kubu penista agama," seperti putaran kedua pilkada DKI.

Biaya sosial dan biaya politik dalam Pilkada DKI sangat mahal. Bila berlanjut di Jabar maka biaya dan komplikasi sosial politiknya akan sangat tinggi. Jokowi melalui berbagai saluran politiknya  berusaha keras menghindarinya. 

Pertemuan para pimpinan parpol Jabar bersamaan dengan Rakernas PAN,  dapat dilihat sebagai upaya membentuk kubu baru di luar koalisi PDIP-Golkar dan PKS-Gerindra seperti yang diharapkan Jokowi. Lima parpol, yakni Demokrat, PPP, PKB, PAN  dan Hanura Senin (21/8) bertemu di Hotel Horison yang letaknya bersebelahan dengan arena Rakernas PAN di hotel Grand Asrilia, Bandung. Hanya Demokrat yang bukan --atau belum-- menjadi pendukung Jokowi.

Dalam pertemuan tersebut para petinggi partai mengisyaratkan akan mencari figur alternatif di luar RK, Demiz maupun Demul. Namun Sekjen PAN Eddy Suparno punya penjelasan lain. Menurutnya dengan keterbatasan waktu, tidak cukup realistis mencari figur lain di luar ketiga kandidat tadi. Karenanya forum tersebut sesungguhnya dirancang untuk menyiapkan perahu bagi RK.

Selain elektabilitasnya paling tinggi, konon diantara para kandidat, RK paling siap logistiknya. Hal ini memudahkan RK untuk bernegosiasi dengan parpol-parpol. Sejumlah pengusaha disebut-sebut sudah menyatakan mendukungnya.

Yang cukup menarik, dalam pertemuan di hotel Horison  Ketua Gerindra Jabar Mulyadi, ikut hadir. Dia berkilah hadir sebagai warga Jabar yang punya tanggung jawab. 

Sejak PKS mengumumkan pencalonan Demiz-Syaichu, Mulyadi selalu bersuara keras. Sikapnya juga didukung Wakil Ketua Umum Gerindra Fadlizon. Padahal Demiz adalah sosok yang direkomendasikan oleh Gerindra Jabar sebagai cagub. Sikap kritis Mulyadi nampaknya lebih ditujukan kepada figur Syaichu bukan pada Demiz ataupun pada pilihan berkoalisi dengan PKS.

Sikap keras Mulyadi mereda setelah Demiz-Syaichu bersama Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri dan Presiden PKS M  Sohibul Iman bertemu Prabowo. Demiz juga menyatakan bersedia menjadi kader Gerindra. Mulyadi menyatakan mendukung  sepenuhnya kebijakan Prabowo.

Dukungan Mulyadi hanya sebentar. Kini dia kembali menyatakan pasangan Demiz-Syaichu belum resmi, karena belum ada perjanjian hitam di atas putih. Melihat tradisi politik Gerindra dengan Prabowo sebagai figur sentral, sikap Mulyadi mengundang tandatanya. Ada apa?

Adu kuat figur

Pada pilkada kekuatan figur dan mesin partai harus berjalan beriringan. Di luar itu yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan logistik, dana. Logistik yang kuat bisa untuk mendongkrak popularitas dan menggerakkan mesin partai. Sebaliknya figur yang kuat, juga memudahkan pengumpulan dana.Ketiga faktor tadi saling melengkapi. 

Pada pilkada DKI  terjadi anomali karena ada faktor ke empat, yakni kekuatan umat. Ahok-Djarot yang sangat populer dengan elektabilitas tinggi dan dana tidak terbatas, bisa dikalahkan oleh Anies-Sandi yang modal awal elektabilitasnya paling rendah dengan modal logistik paket hemat (pahe).

Amien Rais bahkan menyebut pilkada DKI sebagai sebuah mukjizat, seperti halnya Laut Merah yang terbelah ketika Nabi Musa dan pengikutnya dikejar-kejar oleh bala tentara Fir’aun. Sebuah analogi  hiperbola, tapi menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan umat bila bisa dipersatukan.

PKS-Gerindra, atau partai lainnya,  bisa mengulang kemenangan di Jakarta bila tetap merawat, merangkul kekuatan umat. Caranya sangat mudah, dengar aspirasi mereka, libatkan mereka, termasuk dalam penentuan kandidat. Jangan hanya ketika dibutuhkan, umat dilibatkan. Setelah itu kembali ditinggalkan.

*Konsultan Media dan Politik

KEYWORD :

Hersubeno Arief Pilkada Jabar Ridwan Kamil




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :