Pengunsi Rohingya (Foto: AP)
Angkara - Seperti banjir bandang. Di tepi Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh, ribuan pengungsi Rohingya berserahkan setelah diusir paksa oleh para tentara Myanmar 25 Agustus lalu.
Tidak ada yang tahu berapa jumlahnya. Namun Badan pengungsi PBB memperkirakan hampir 150.000. Pejabat lokal di distrik Cox`s Bazar di perbatasan Bangladesh dengan Myanmar percaya jumlahnya mendekati 200.000 orang. Para korban meninggalkan pertumpahan darah dan penganiayaan di negara bagian Rakhine di Myanmar.
“Kejadian ini mengingatkan saya pada masa kemerdekaan pada 1971, saat kami melarikan diri ke India untuk menyelamatkan hidup dari militer Pakistan,“ kata Abdur Rahman, seorang petani lokal.
Mahasiswa Bangladesh Berencana Bentuk Partai Baru untuk Cegah Pemerimtahan Otoriter Berulang
“Pengungsi Rohingya terpaksa bergegas ke perbatasan Bangladesh dengan barang bawaan dan peralatan dapur minimum. Terkadang, mereka tiba dengan tangan hampa sama sekali.“
Mohammad Nurul Amin berusia 32 tahun, pemilik toko kelontong di desa Miajong di Rakhine, berjalan selama lima hari dengan 14 anggota keluarganya, untuk menyelamatkan diri. Perjalanan tersebut menelan biaya setara dengan USD73 atau Rp94,900, sejumlah besar uang di pedesaan Myanmar
“Uang tersebut kemudian diberikan kepada tukang perahu, karena keluarganya harus menyeberangi dua sungai dan kanal,“ katanya.
Situasi di Rakhine, kata Amin, sangat memprihatinkan. “Tidak ada satu rumah pun di wilayah saya yang tidak dibakar oleh tentara Myanmar. Orang-orang muda dibantai secara brutal dan tumpukan mayat dibakar oleh bom bensin. Wiayah tersebut sudah menyeruapi neraka,“ jelasnya
TIKA menjadi agen asing pertama yang mendistribusikan bantuan kepada Muslim Rohingya meskipun ada kekhawatiran pemerintah Myanmar tentang organisasi bantuan internasional yang dituduh Kyi untuk membantu terorisme di negara tersebut.
KEYWORD :
Rohingya Bangladesh Myanmar ASIA