Aung Sang Suu Kyi (Foto:Getty Images)
Yangon – Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menolak saran bahwa dirinya harus bersikap lunak terhadap militer, yang dituding oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing). Sebaliknya, Suu Kyi tetap pada pendirian akan melakukan rekonsiliasi nasional.
Sebelumnya Suu Kyi mengecam aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di negara bagian Rakhine, yang memaksa 421.000 warga muslim Rohingya mencar perlindungan ke negara tetangga, Bangladesh. Ia menegaskan akan memberikan sanksi kepada pelaku.
“Kami tidak akan mengubah pendirian. Sejak awal tujuan kami adalah rekonsiliasi nasional. Kami selama ini tidak pernah melancarkan kritik kepada militer, hanya tindakan mereka emata. Kami tidak setuju dengan tindakan ini,” kata Suu Kyi kepada Radio Free Asia, Rabu (20/9).
Dikutip dari Reuters, Suu Kyi mengatakan tawarannya terkait rancangan baru militer di parlemen masih ditolak. Parlemen juga melarang presiden bertanggung jawab atas keamanan yang dipegang oleh militer, serta hak veto atas reformasi piagam.
“Kami akan terus membawa perubahan di parlemen. Saya sudah berdiri teguh dengan militer sebelumnya, dan masih melakukannya hingga sekarang,” jawabnya.
Suu Kyi pada 1991 mendapatkan Nobel Perdamaian atas upayanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tanpa kekerasan dari tangan militer. Namun, semenjak polemik Rohingya mencuat ke publik, banyak pihak yang mempertanyakan nobel tersebut.
Pada saat yang sama PBB melalui Sekjen Antonio Guterres mengecam polemik Rohingya sebagai bentuk pembersihan etnis. Sementara Suu Kyi membantah penyebutan tersebut dengan dalih melawan pemberotak Arase Rohingya Salvation Army (ARSA) yang dituding melakukan kebakaran dan menyerang warga sipil.
Suu Kyi Myanmar Rohingya