Presiden Jokowi ikut nonton bareng film G30S PKI.
Oleh : Hersubeno Arief
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo Jumat (29/9) malam menggelar nonton bareng (Nobar) wayang di museum Fatahilah, Jakarta. Pada saat bersamaan Presiden Jokowi juga Nobar film G30S/PKI di Markas Korem Suryakencana, Bogor.
Sepintas dua acara yang “kebetulan” berlangsung bersamaan itu hanya peristiwa budaya biasa. Namun bagi yang paham politik dan bahasa simbol, kedua momen tersebut adalah sebuah peristiwa politik yang tidak biasa. Apalagi kemudian Gatot segera bergabung dengan Presiden dan nonton bersama warga sampai dinihari.
Nobar wayang bersama para Kepala Staf Angkatan AD, AL dan AU digelar untuk menyambut HUT TNI ke-72. Acara tersebut sebenarnya biasa saja. Yang menarik lakon (cerita) yang dipilih, yakni “Parikesit Jumeneng Nata.”
Dengan konstelasi politik jelang Pilpres 2019 yang tensinya mulai memanas dan kondisi masyarakat Indonesia terkotak-kotak, terpolarisasi dalam dua kubu yang berseberangan pasca pilkada DKI, pilihan lakon “Parikesit Jumeneng Nata” menjadi sangat politis, penuh dengan tafsir dan makna.
Lakon “Parikesit Jumeneng Nata” atau Parikesit Menjadi Raja adalah sebuah episode tampilnya generasi ketiga keluarga Pandawa menjadi raja di negara Hastinapura, pasca perang Baratayudha.
Perang besar antara dua saudara yang mewakili pembela kebenaran (Pandawa) melawan pembela kejahatan (Kurawa) itu dimenangkan oleh Pandawa.
Parikesit adalah cucu dari Arjuna, salah satu kesatria Pandawa paling tampan. Bapaknya bernama Abimanyu tewas dalam perang Baratayudha.
Setelah keluarga Pandawa memutuskan meninggalkan dunia politik, berbagai intrik dan konspirasi politik dilakukan untuk menggagalkan Parikesit menjadi raja. Namun karena sudah menjadi takdirnya, Parikesit tetap menjadi raja.
Gatot punya tafsir sendiri soal lakon tersebut. Menurutnya pasca Baratayudha negara kacau balau. "Perang itu menyakitkan, menang atau kalah pasti rugi. Menata perlu waktu, tenaga, dan biaya. Maka utamakanlah persatuan," ujarnya.
Soal judul lakon, Gatot memilih mengartikan kata “nata” sebagai pemimpin. Dia tidak menggunakan kata raja. Kelihatannya Gatot mencoba menghindari tafsir politik lebih jauh, karena dalam era demokrasi raja itu sama dengan presiden.
Dalam konteks politik kekinian, lakon “Parikesit Jumeneng Nata” bisa diartikan sebagai sebuah peringatan, bahwa manuver politik harus dilakukan secara baik, jangan sampai menimbulkan peperangan.
Kekuasaan itu juga mutlak wewenang dan hak prerogatif Tuhan. Para politisi boleh melakukan intrik, manipulasi, konspirasi, bahkan sampai pembunuhan (karakter), namun kalau seseorang sudah ditakdirkan menjadi raja (presiden), maka tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalangi.
Peringatan ini berlaku untuk Jokowi, para kandidat penantangnya, juga termasuk untuk Gatot sendiri. Entah secara kebetulan atau tidak, belakangan banyak suara-suara sumbang terhadap Gatot yang memerintahkan Nobar film G30S/PKI, dan yang terakhir soal isu pembelian 5.000 senjata oleh Badan Intelijen Nasional (BIN).
Banyak yang menuding Gatot menyeret kembali TNI ke politik praktis. Dia juga dituding punya ambisi khusus menjadi presiden atau setidaknya wapres.
Pilihan sadar
Ketika bertemu dengan Jokowi di istana untuk melaporkan rangkaian kegiatan HUT TNI ke-72, Gatot sebenarnya mengundang Jokowi untuk Nobar wayang. Namun Jokowi ternyata malah memilih Nobar film G30S/PKI.
Keputusan Jokowi untuk Nobar film G30S/PKI dan pilihan tempatnya di Markas Korem Suryakencana, Bogor sungguh sangat menarik.
Pertama, Jokowi telah menegaskan sikap dan posisi politiknya di seputar kontroversi pemutaran film G30S/PKI.
Kedua, Jokowi menunjukkan bagaimana penilaiannya atas berbagai “manuver” Gatot dan posisi tentara.
Langkah ini mengingatkan kita pada saat Jokowi akhirnya memutuskan untuk hadir di tengah jutaan umat Islam yang menggelar aksi 212. Di tengah hujan rintik, Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla berjalan kaki dari Istana Merdeka menuju lapangan Monas untuk ikut salat Jumat berjamaah.
Salah satu figur yang mendampingi Jokowi adalah Gatot. Dia hadir dengan tampilan mencolok, mengenakan seragam militer, namun dengan kupiah putih.
Posisi Gatot saat itu juga berbeda dengan arus politik besar di kalangan partai pendukung pemerintah dan sejumlah pejabat tinggi, terutama kepolisian. Gatot dengan tegas menolak jika aksi jutaan umat Islam menuntut penegakkan hukum terhadap Ahok, sebagai tindakan makar.
Pada kasus Nobar, Gatot dengan santainya menyatakan “emang gua pikirin,” ketika ditanya tentang banyaknya suara menentang pemutaran kembali film G30S/PKI.
Suara-suara yang paling keras menentang Nobar Fim G30S/PKI berasal dari politisi PDIP yang nota bene partai Presiden Jokowi, dan kelompok-kelompok yang dulu dikenal sebagai pendukung Ahok.
Sebaliknya pendukung dan yang paling bersemangat menggelar Nobar adalah umat Islam yang pada pilkada DKI menjadi penentang Ahok.
Keputusan Jokowi untuk bergabung dengan warga yang menggelar Nobar di markas tentara, setidaknya menunjukkan pendulum politiknya bergerak lebih ke kanan, seperti jalan yang selama ini dipilih oleh Gatot.
Apakah pilihan tersebut sekedar kalkulasi politik yang pragmatis, karena umat Islam adalah pemilih terbesar pada Pilpres 2019, atau merupakan sebuah kesadaran bahwa semua warga harus dirangkul, termasuk umat Islam yang merupakan mayoritas? Semua itu masih menjadi pertanyaan besar.
Dalam situasi seperti ini, kita perlu mengingat-ingat kembali kata-kata yang disampaikan oleh Presiden Perancis Charles de Gaulle, “Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan.”
KEYWORD :Hersubeno arief jokowi film g30s pki