Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo
Oleh : Hersubeno Arief*
Puzzle politik Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, sedikit demi sedikit mulai berbentuk. Pernyataan anggota Dewan Pakar Partai Nasdem Taufiqul Hadi yang mengisyaratkan partainya akan mengusung Gatot dipasangkan dengan Jokowi, membantu kita untuk memahami mata rantai yang selama ini masih terputus.Nasdem adalah salah satu partai pedukung utama Jokowi. Partai ini juga termasuk partai yang paling awal menyatakan akan mengusung kembali Jokowi pada Pilpres 2019. Dengan begitu suara Nasdem bisa dilihat sebagai info dari “orang dalam” apa yang sebenarnya diinginkan Jokowi.Banyak kalangan yang selama ini bertanya-tanya atas berbagai manuver Gatot. Sebagai Panglima TNI, dia terkesan berseberangan dengan pemerintah. Mulai dari kedekatannya dengan ulama dan umat Islam dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI I-V), aksi nonton bareng (Nobar) Film G30S/PKI, dan konfrontasinya dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Pol) Budi Gunawan dalam isu pembelian 5.000 senjata illegal.Begitu juga halnya ketika Jokowi akhirnya memutuskan bergabung salat Jumat dengan jutaan umat yang menggelar Aksi 212 di lapangan Monas, Jakarta. Kehadiran Jokowi bisa diartikan dia lebih mendengar Gatot ketimbang Kapolri Tito Karnavian yang mencurigai aksi tersebut mengarah makar.
Potensial menjadi penantang JokowiMencuatnya kemungkinan Gatot akan dipasangkan dengan Jokowi membuat para pendukungnya di kalangan umat mulai terpecah. Kelompok yang tadinya mengelus-elus dan menggadang-gadangnya, masih belum meyakini bahwa Gatot berada dalam satu kubu dengan Jokowi. Namun sebagian mulai bersikap dan mengambil posisi balik kanan.Sebuah meme yang mengatasnamakan “emak-emak militan” membuat sebuah status menarik. “Jokowi dipasangkan dengan Gatot? Dipasangkan dengan suami, saya juga tetap tidak akan memilih!”Status yang viral itu menggambarkan betapa besar kekecewaan mereka terhadap Jokowi, sekaligus peringatan kepada Gatot. Kendati mulai mendapat dukungan secara luas di kalangan umat Islam, namun dukungan itu akan mereka cabut, bila Gatot memutuskan untuk bergabung menjadi cawapres Jokowi.Ceritanya akan lain, bila Gatot memutuskan untuk menjadi penantang Jokowi pada Pilpres 2019. Selain Jokowi dan Prabowo, Gatot diperhitungkan sebagai salah satu kandidat terkuat. Elektabilitas Gatot memang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan Jokowi dan Prabowo. Namun hal itu bisa dipahami karena Gatot secara resmi belum menjadi kandidat dan berkampanye.Banyak pemilih yang masih _wait and see, bertanya-tanya, bahkan curiga bahwa target Gatot juga tidak tinggi-tinggi amat dan berani bersaing menjadi capres. Dia main aman di posisi sebagai cawapres.Situasi kebatinan para pemilih ini harus benar-benar diperhatikan oleh Gatot dan para penasehat politiknya. Saat ini sesungguhnya merupakan momentum yang sangat krusial bagi kelanjutan perjalanan karir politiknya. Ibarat sebuah besi yang panas, tinggal menempanya.Berbagai survei menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi saat ini sangat rendah untuk seorang incumbent. Angkanya berkisar antara 35-40%. Jika memperhitungkan margin error sekitar 4%, maka elektabilitasnya bisa hanya berkisar di angka 31-35%.Didukung oleh pencitraan (permanent campaign) sepanjang tahun, angka elektabilitas itu merupakan lampu yang sangat merah telah menyala!Begitu juga halnya dengan elektabilitas Prabowo yang cenderung stagnan. Angkanya bergerak antara 12-23%. Itu semua merupakan signal bahwa rakyat mulai mencari alternatif pemimpin baru, sekaligus peluang bagi Gatot.Selain elektabilitasnya yang rendah, setidaknya ada dua indikasi Jokowi potensial bisa dikalahkan. Pertama, mood publik terutama di kalangan umat Islam saat ini sedikit banyak mirip dengan situasi menjelang Pilkada DKI 2017. Sebelum pilkada tingkat kepuasan publik dan elektabilitas Ahok sangat tinggi. Kepuasan publik mencapai 75% dan elektabilitas di atas 50%. Namun ketika umat Islam bersatu, Ahok bisa dikalahkan oleh pasangan Anies-Sandi yang dijodohkan secara mendadak.Kedua, faktor ekonomi dan kemungkinan mandeknya pembangunan berbagai infrastruktur. Elektabilitas Jokowi saat ini sangat ditopang oleh pencitraan tiada henti. Aksi bagi-bagi sepeda dan jalan kaki ketika jalan menuju tempat upacara HUT TNI ke-72 yang kok bisa-bisanya “macet,” sangat disukai publik.Pembangunan berbagai infrastruktur ditargetkan selesai pada tahun 2018, akan menjadi senjata pamungkas bagi pencitraan Jokowi. Namun seperti dikatakan oleh mantan Menkeu Fuad Bawazier, keuangan negara sudah memasuki situasi yang mengkhawatirkan. Sementara ekonom dari UI Faisal Basri mengingatkan agar pembangunan infrastruktur dijadwal ulang atau dimundurkan setelah 2019, jika tidak mau ekonomi Indonesia jebol.Dua isu tersebut saat ini masih bersifat elitis. Kendati perekonomian saat ini mulai dirasakan sulit, namun masyarakat terutama kelas bawah masih terhibur dan terpukau dengan berbagai aksi populis Jokowi. Ketika keuangan negara benar-benar jebol (mudah-mudahan tidak) dampaknya langsung terasa pada masyarakat luas, maka saat itulah semua pencitraan yang dibangun Jokowi bakal buyar tiada arti. Perut masyarakat yang lapar, tidak cukup dihibur dengan tebak-tebakan nama lima jenis ikan dan bagi-bagi sepeda. Apakah Gatot cukup punya keberanian memanfaatkan momentum dan kesempatan tersebut? Sebagai seorang jenderal, dia pasti akrab dengan kata-kata dari seorang pahlawan Perang Dunia II Jenderal Douglas MacArthur “There is no security on this earth; there is only opportunity.”Dalam konteks Gatot bisa diterjemahkan “Tidak ada yang aman di dunia politik, yang ada hanya kesempatan.”
*Penulis adalah analis politik dan media
KEYWORD :Opini Hersubeno Arief