| Kamis, 12/10/2017 14:03 WIB
Gedung KPK RI (foto: Jurnas)
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melacak keberadaan sejumlah aset terkait hasil korupsi proyek pengadaan e-KTP yang sudah disamarkan di luar negeri atau di sejumlah negara.
Demikian disampaikan Koordinator Pelaksana Tugas Koordinator Unit Pelacakan Aset Pngelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK, Irene Putri. Pasalnya, KPK sudah mengantongi informasi dan bukti petunjuk awal.
Aset-aset itu diduga milik pihak yang diuntungkan dalam proyek berniali Rp 5,9 triliun tersebut. "Kami melakukan (pelacakan) aset sampai ke luar negeri," ucap Irene, Kamis (12/10/2017).
KPK sejauh ini sudah berkoordinasi dengan Badan Investigasi Praktik Korupsi Singapura (CPIB) dan Badan Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) dalam mengejar uang korupsi e-KTP yang diduga disamarkan. "Kita bekerja sama dengan penegak hukum di luar negeri," terang Irene.
Dikatakan Irene, pelacakan aset dalam penyidikan kasus e-KTP ini difokuskan pada sejumlah pihak yang diuntungkan dalam proyek ini. Karena itu, sejumlah barang dalam pengadaan e-KTP tak masuk dalam penelusuran aset tersebut.
"Si A, si B, dan si C mendapatkan keuntungan berapa? Kemudian keuntungan itu yang kita lakukan pelacakan atas yang bersangkutan, bukan pengadaannya ini," ujar Irene yang juga jaksa penuntut umum perkara korupsi e-KTP.
Meski demikian, Irene belum mau menjelaskan secara gamblang terkait dengan pelacakan aset tersebut. Yang jelas, ucap Irene, KPK sudah bekerja sama untuk menelusuri aset-aset di luar negeri yang terkait dengan korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun.
"Jangan sekarang deh. nanti ada saatnya," imbuh dia.
Lebih lanjut dikatakan Irene, aset-aset yang berada di luar negeri yang terkait dengan tindak pidana korupsi bisa disita penyidik KPK dengan mekanisme yang ada di negara tersebut. Karena itu, KPK berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum di negara terkait.
Dalam hal penyitaan aset yang berada di luar negeri, kerjasama juga termaktub dalam Pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK. "Penyitaan bukan kita yang melakukan penyitaan beda yuridiksi. Kami minta bantuan penegak hukum di sana untuk melakukan pembekuan aset," ucap Irene.
KPK, kata Irene, pernah bekerjasama dengan penegak hukum di negara lain telah dilakukan di Australia dan Singapura dalam kasus dugaan korupsi lainnya. Lewat kerjasama itu KPK menyita sejumlah aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Bahkan, ada satu aset di Australia dan beberapa aset di Singapura yang telah dibekukan karena diduga terkait korupsi.
Proses penyitaan hingga perampasan aset itu, kata Irene, sepenuhnya dilakukan penegak hukum di negara tersebut. Dimana ada mekanisme pengadilan setempat yang mesti dilakukan untuk membuktikan bahwa aset-aset itu terkait korupsi.
"Karena proesnya bukan proses sekejap, tungu persidangan di sana, sampai perintah hakim menyetujui aset dikembalikan ke Indonesia," tandas Irene.
Penyidik KPK dikabarkan tengah menelusuri aset dan transaksi keuangan Ketua DPR
Setya Novanto. Aset dan transaksi itu disinyalir terkait dengan korupsi e-KTP.
KPK juga mengisyaratkan bakal menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara.
KPK sendiri sejauh ini baru menerima pengembalian uang kerugian negara dalam proyek e-KTP sekitar Rp236,9 miliar, US$1,3 juta, dan SG $368. Uang itu didapat dari sejumlah tersangka, saksi dan perusahaan yang menggarap proyek milik Kementerian Dalam Negeri.
Namun, langkah itu terhenti sementara setelah hakim praperdilan menyatakan penetapan tersangka
Setya Novanto dalam perkara korupsi e-KTP tidak sah. Kini KPK tengah menganalisa hasil putusan hakim Cepi Iskandra. Analisa itu dilakukan untuk menentukan langkah selanjutnya. Pun termasuk kembali menerbitkan surat perintah penyidikan untuk
Setya Novanto.
KEYWORD :
E-KTP Setya Novanto