Cak Imin menjenguk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Mako Brimob, Depok.
Oleh : Hersubeno Arief
Seorang petinggi partai terheran-heran ketika mendapat kiriman foto Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar sedang menemui mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok beberapa hari lalu.
“Ada apa ya? Apa perhitungan Cak Imin kok sampai harus mengunjungi Ahok? Pertanyaan itu diulang beberapa kali untuk menunjukkan betapa peristiwa tersebut merupakan sebuah fenomena politik yang menarik, tapi sekaligus mengherankan.
Dalam politik, bertemunya dua orang tokoh bisa berarti banyak. Bisa menimbulkan berbagai tafsir. Sebuah signal yang bisa membawa kita untuk memahami langkah, maupun peristiwa politik ke depan.
Ketika Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana, dan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan Jokowi ke Bukit Hambalang, kediaman Prabowo.
Pertemuan tersebut ditafsirkan sebagai simbol rekonsiliasi antara dua tokoh yang pernah bersaing keras dalam Pilpres 2014. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai “diplomasi menunggang kuda,” karena Jokowi sempat menunggangi kuda milik Prabowo. Diharapkan pertemuan dapat menurunkan tensi ketegangan antara keduanya, maupun diantara para pendukung.
Di luar pesan yang sampai dan mencuat ke permukaan, pasti ada deal-deal politik di belakang layar yang tidak pernah kita ketahui.
Begitu pula halnya Ketua Umum DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Prabowo di Cikeas menjelang pengesahan RUU Pemilu. Banyak pengamat yang menafsirkan pertemuan yang dikenal dengan istilah “Diplomasi Nasi Goreng” itu sebagai signal menyatunya dua jenderal yang secara politik tidak pernah bersatu.
Sangatlah wajar bila kemudian muncul banyak pertanyaan, apa kalkulasi politik kunjungan Cak Imin ke tempat Ahok “nyantri” di Mako Brimob?
Mengharap Berkah
Dalam tradisi Nahdliyin yang menjadi basis Cak Imin, kunjungan atau sowan, biasanya dilakukan oleh seorang santri kepada kyai. Bahkan ketika seorang kyai besar yang sudah meninggal, makamnya akan banyak diziarahi.
Selain menunjukkan sikap hormat dan bhakti seorang santri, mereka mengharap karomah, berkah para kyai. Dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai “ngalap berkah.” Tidak ada urusannya dengan politik.
Tradisi ini kemudian juga diadopsi dalam politik praktis. Presiden Jokowi termasuk yang sering berkunjung ke pesantren dan menemui kyai-kyai besar. Ketua Umum Golkar Setya Novanto belakangan terlihat wora-wiri ke pesantren. Dia malah disebut-sebut telah mendapat gelar Kyai Haji (KH). Sebuah foto para santri putri berbaris mencium tangan Novanto beredar luas. Orang yang dicium tangannya menunjukkan maqom(posisinya) sudah tinggi. Mumpuni. Levelnya sudah ma’rifat.
Pada kasus Ahok, apakah dia juga sudah mendapat maqom yang tinggi, sehingga sejumlah tokoh penting ramai-ramai mengunjunginya?
Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Anshor Yaqut Cholil Qoumas memang menjuluki Ahok sebagai Sunan Kali Jodo. Tapi julukan itu pasti sekedar main-main. Kalau serius, sungguh keterlaluan.
Sebelum Cak Imin, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Agus Harimurti telah mengunjungi Ahok.
Kunjungan Surya Paloh bisa dipahami, karena Nasdem adalah partai yang pertama kali mendukungnya pada pilkada DKI. Jadi kunjungan Surya, merupakan kunjungan seorang kakak, atau orang tua. Sementara kunjungan Agus tentu berbeda maknanya.
Agus membawakan kue basah, dan Ahok kemudian menitipkan surat untuk SBY. Kunjungan tersebut tidak terlalu mengundang kehebohan, barangkali karena kapasitas Agus bukan seorang ketua umum partai.
Namun jangan lupa, Agus adalah anak SBY. Sebagai putera mahkota, diprediksi pada waktu yang dirasa sudah tepat, Agus akan mewarisi tahta Ketua Umum Partai Demokrat. Artinya kunjungan Agus adalah representasi dari SBY.
Agus secara personal dikenal tidak cukup dekat dengan Ahok. Dalam Pilkada DKI 2017, dia malah bersaing dengan Ahok. Dalam putaran pertama Agus yang berpasangan dengan Silvy bahkan dianggap sebagai pesaing paling potensial mengalahkan Ahok. Apalagi berbagai survei menyebutkan tingkat elektabilitas sangat tinggi.
Berbagai operasi politik untuk menjatuhkan elektabilitas Agus, termasuk sejumlah black campaign. Sehari menjelang pemungutan suara putaran pertama, mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menjadi terpidana kasus pembunuhan, melaporkan SBY ke Bareskrim Polri dengan tuduhan yang cukup serius. SBY dituding sebagai aktor di balik rekayasa sehingga Antasari harus mendekam di balik penjara.
Nah ketika Agus kemudian mengunjungi Ahok, tentu bukan merupakan kunjungan biasa. Sarat dengan makna politik. Apalagi sebelumnya baik AHY maupun SBY melakukan berbagai manuver politik yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mendekati Jokowi.
Jangan lupa Ahok adalah wakil Jokowi saat menjadi gubernur DKI, dan digadang-gadang menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2019. Sayang dia kesandung kasus penistaan agama.
Dalam Pilkada DKI kendati tidak secara terbuka, Jokowi mendukung penuh Ahok. Seorang pengamat malah menyebut istana sebagai posko pemenangan Ahok.
Sepekan sebelum peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72, Agus bertandang ke istana. Dia menyampaikan undangan kepada Jokowi untuk menghadiri peresmian The Yudhoyono Institute.
Dalam pertemuan tersebut Agus menyampaikan salam dan menegaskan dukungan SBY terhadap pemerintahan Jokowi.
Setelah itu SBY bertandang ke istana dalam momentum HUT Kemerdekaan RI ke-72. Saat itu fokus media justru pertemuan antara SBY dengan Megawati. Maklumlah keduanya terlibat perang dingin sejak SBY mencalonkan diri sebagai presiden, pada Pilpres 2014. Tidak ada media yang menghubungkan kedatangan SBY ke istana dengan Jokowi.
Signal politik bahwa SBY kian mendekat ke Jokowi terjadi ketika Sidang Paripurna DPR membahas Perppu ormas. Demokrat berada dalam kubu partai yang mendukung pengesahan Perppu, kendati dengan catatan harus ada revisi.
Pilihan politik Demokrat ini mendapat kecaman sangat luas. Sebagai pendukung Perppu ormas, di media sosial Demokrat dikelompokkan sebagai Parpol yang harus diboikot dalam pemilu. Mereka di-bully habis. Apalagi sebelumnya Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan dengan tegas mengatakan partainya akan menolak pengesahan Perppu ormas karena tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa.
SBY yang semula tegar menghadapi serangan di medsos, menemui Jokowi di istana, dan menegaskan sikap partainya yang meminta revisi Perppu Ormas yang telah disahkan menjadi UU.
Seperti diungkapkan Mensesneg Pratikno pertemuan tersebut atas permintaan Agus, sebulan sebelumnya. Pertemuan baru terjadi pasca pengesahan Perppu ormas, karena kesibukan presiden. Jadi Perppu ormas bukanlah agenda utama pertemuan tersebut. Ada agenda lain yang tidak disebutkan oleh Pratikno, karena dia mengaku tidak mengikuti pertemuan.
Tek- tok politik antara Agus, SBY dengan Jokowi dan kemudian kunjungan Agus ke Ahok bisa dibaca sebagai upaya pendekatan SBY ke Jokowi dan kelompok-kelompok di belakangnya. Apa agenda besar di balik itu? Waktu yang akan menjawab. Banyak spekulasi yang menyebut hal itu sebagai upaya “menitipkan” Agus ke Jokowi.
Pilkada DKI memaksa Agus melepas jabatan dan karir militernya. Dia sementara ini mengelola The Yudhoyono Institute sebagai Direktur Eksekutif. Agus tampaknya dipersiapkan untuk jabatan-jabatan politik lain yang penting. Menjadi menteri dalam kabinet, bila terjadi reshufle, atau cawapres pada Pilpres 2019, merupakan pilihan yang masuk akal.
Jika benar seperti itu, maka dalam kalkulasi SBY, posisi Jokowi masih sangat kuat. Dia menerapkan strategi Sun Tzu “menghindari musuh yang terlalu kuat.” Politik di Indonesia saat ini tampaknya tengah memasuki sebuah situasi yang pernah dinyatakan oleh mantan Presiden AS George W Bush, “You are either with us, or agains us.”
Kunjungan Agus, Cak Imin, dan kemungkinan disusul tokoh-tokoh lain ke Ahok bisa memandu kita untuk memahami konstelasi politik Indonesia. Ahok menjadi sebuah kartu puzzle yang menghubungkan menjadi sebuah mozaik, apa yang terjadi di balik layar politik Indonesia.
KEYWORD :Cak Imin Ahok