Mapping reklamasi
Tony Rosyid
Direktur Graha Insan Cendikia
Ketika Presiden Jokowi membuat peryatakan bahwa dirinya tidak pernah memberi izin reklamasi (detik.com 1/11/2017), sontak publik kaget. Selama ini publik berasumsi bahwa Jokowi berada di balik kegaduhan proyek reklamasi. Ketika ditanya soal pergub no 146 Tahun 2014 yang dikeluarkan Jokowi saat menjabat sebagai gubernur DKI ia menjelaskan bahwa itu hanyalah petunjuk teknis jika ingin melakukan reklamasi.
Tentu publik tidak begitu saja percaya peenyataan orang nomor satu di Indonesia itu. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Opini bahwa Jokowi terlibat proyek reklamasi sudah lama menyebar dan tertanam kuat di benak masyarakat.
Mengapa publik tidak begitu saja bisa percaya? Hal ini terkait rangkaian proses keputusan reklamasi yang melibatkan secara aktif sejumlah orang yang dikenal sangat dekat dengan Jokowi. Sebut saja dua orang yang namanya banyak menghiasi media massa yaitu Ahok dan Luhut Binsar Panjaitan.
Keluarnya pergub reklamasi sebelum dibuatnya perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tergolong nekad. Pasalnya, pergub reklamasi mesti lebih dulu mengacu pada perda zonasi. Kenekatan Ahok yang berani menabrak dan "srudak sruduk" ini dicurigai oleh publik bahwa Ahok diback up oleh kekuatan besar di belakangnya. Kecurigaan publik ditujukan kepada orang nomor satu di negeri ini. Tentu, kecurigaan ini masih perlu dibuktikan.
Tidak hanya itu, Ahok, yang sempat mendapat julukan sebagai "gubernur reklamasi" telah membuat keputusan penunjukan sepihak kepada Agung Podomoro Group sebagai pelaksana. Publik bertanya-tanya apakah sosok yang pernah menjadi orang kepercayaan Aguan ini punya nyali untuk menerbitkan pergub dan membuat penunjukan tanpa back up pihak-pihak yang lebih kuat darinya? Mengingat tidak adanya payung hukum yang kuat.
Dan ternyata benar, belakangan proyek reklamasi ini terbukti bermasalah secara hukum. Proyek senilai 500 triliyun ini akhirnya memakan korban seorang anggota DPRD yang bernama Sanusi. Aguan, Sang pemilik Agung Podomoro Group juga sempat ditetapkan menjadi saksi bersama Ahok dan Sunny Tanuwidjaja. Bahkan KPK sempat mengeluarkan sanksi pencekalan terhadap Aguan dan Sunny. Namun kedua orang ini selamat dan tidak sampai dijadikan tersangka.
Selain Ahok, publik juga diingatkan bagaimana manuver menko kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Bismar Panjaitan yang dikenal publik sebagai tangan kanan Jokowi dalam hampir semua kebijakan. Begitu bersemangatnya LBP mengurus reklamasi hingga publik memberi julukan LBP sebagai "menteri reklamasi". Tidak saja soal reklamasi, LBP yang dikenal sebagai menteri paling aktif dan vokal ini juga ikut turut campur soal proyek Meikarta. Kehadiran LBP ke acara Meikarta beberapa waktu lalu sampai menjadi bahan candaan: apakah daratan sudah sangat tidak aman sehingga menko maritim harus datang.
Keterlibatan LBP dengan sejumlah proyek yang kadang tidak terkait dengan tugas kementriannya membuat publik menyimpulkan LBP adalah "the real presiden." Ini tentu bukan kesimpulan konstitusional, tapi lebih merupakan opini yang tidak bisa diukur berdasarkan pasal-pasal dalam hukum ketatanegaraan.
Soal reklamasi, tak ada orang yang lebih garang dari LBP. Ia orang yang paling ngotot reklamasi harus diteruskan. Pencabutan monatorium adalah bukti bahwa ia tidak main-main dalam mengawal reklamasi. LBP bahkan menantang siapa saja yang ingin beradu argumen soal pembangunan pulau yang diprediksi oleh muslim Muin, pakar Ilmu Kelautan dari ITB, akan menenggelamkan kota Jakarta ini. (Republika online 2/11). Bagi LBP reklamasi adalah harga mati.
Namun demikian, semangat LBP akhir-akhir ini mulai sedikit melemah. Sebagaimana Jokowi, LBP terlihat sudah melunak. Jumat lalu, 3 nopember 2017 saat mengisi acara Studium Generale di Unpad Bandung LBP sempat ditanya oleh media soal reklamasi dan ia menjawab terserah pemprov DKI saja (Republika online, 3/11/2017).
Publik mulai bertanya-tanya: apa gerangan yang membuat paduan suara dua tokoh ini melemah ketika menyanyikan lagu reklamasi? Tidak sekeras dan selantang sebelumnya. Apakah karena sudah tidak lagi mendapatkan tepuk tangan dari penonton?
Jokowi, selain sebagai kepala negara, ia adalah politisi ulung. Maka pernyataan apapun, termasuk terkait reklamasi mesti dipahami tak lepas dari langkah politik. Sebagai langkah politik, pernyataan Jokowi tidak mungkin tanpa kalkulasi.
Publik tentu menduga-duga kemana arah pernyataan dan langkah politik Jokowi tersebut. Berbagi spekulasi kemudian bermunculan, pertama, keputusan Anies untuk menghentikan reklamasi tidak lagi ada selah untuk dilawan, baik secara hukum maupun opini. "No negosiation". Apalagi keputusan itu ditegaskan Anies-Sandi sebagai amanat rakyat yang kemudian mendapat dukungan yang semakin besar. Jika Jokowi terus memaksa untuk melawan keputusan bulat Anies-Sandi ini, artinya Jokowi akan dianggap tidak pro rakyat. Ini bisa menjadi ancaman bagi elektabilitas Jokowi di pilpres 2019. Bagi Jokowi, ini kontra produktif. Maka harus segera diakhiri.
Kedua, boleh jadi Jokowi mau mengalah soal reklamasi dengan jaminan Anies-Sandi mau mengamankan jejak Jokowi di DKI sewaktu menjadi gubernur. Setiap jabatan pasti meninggalkan jejak. Adakalanya jejak itu baik, adakalanya buruk. Tidak mudah meninggalkan jabatan politik tanpa jejak kesalahan, termasuk hukum. Mengapa para mantan pejabat publik seringkali ikut mengintervensi proses pergantian kepala daerah atau kepala negara, salah satunya karena alasan pengamanan jejak tersebut. Apakah Jokowi punya jejak buruk di DKI? Biarlah sejarah yang akan membuktikan.
Ketiga, melunaknya Jokowi terkait reklamasi tidak mustahil kalau dikompromikan dengan pilpres 2019. Jokowi mengalah di reklamasi, dan Anies menahan diri untuk tidak maju di pilpres 2019. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat Anies sangat potensial untuk menjadi lawan tangguh Jokowi ketika elektabilitas Prabowo, rival politik Jokowi, terus jeblok. Tokoh yang paling potensial membayangi suara Jokowi di pilpres 2019 adalah Anies Baswedan. Dan hanya Anies satu-satunya tokoh yang bisa mengikuti jejak Jokowi, yaitu sebagai gubernur DKI yang belum selesai periodenya lalu nyapres. Jika asumsi ini yang benar, maka Anies bisa kehilangan momentum.
Keempat, Anies punya kartu AS yang bisa membuat Jokowi skak mat. Ketika Anies bilang bahwa ia punya daftar nama dan identitas para pengunjung Alexis, banyak pihak blingsatan dan panik. Siapapun orangnya jika tersandera soal hukum dan moral akan kehilangan ketegasannya. Dan politik sandera telah berlaku dari jaman penjajahan, dan semakin marak di era Jokowi.
Kelima, Jokowi sengaja mundur satu langkah untuk menyiapkan langkah yang lain. Mengatur energi sambil menunggu Anies-Sandi lengah lalu menyerang balik.
Keenam, Jokowi menghindari bola panas reklamasi yang sangat mungkin bisa mengarah kepadanya. Pasalnya, pergub Nomor 146 Tahun 2014 yang dibitkan Jokowi saat menjabat gubernur DKI dianggap sebagai pintu masuk lahirnya proyek reklamasi. Dan proyek ini sekarang sedang menuai masalah hukum.
Semua asumsi di atas memiliki nilai probabilitas yang sama. Hanya sejarah yang akan membuktikan mana diantara enam kemungkinan itu yang benar.
Yang jelas, debat reklamasi belum usai. Ujung dari proyek sarat misteri dan kegaduhan ini diharapkan berakhir sesuai harapan masyarakat.
KEYWORD :Anies jokowi reklamasi opini