Korupsi BLBI
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami sejumlah aspek dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional (BDNI) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tak terkecuali salah satunya menelusuri dan mendalami aset milik sejumlah pihak yang dididuga terkait kasus tersebut.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang tak membantah penelusuran dan pendalaman mengenai aset itu terkait upaya pihaknya dalam mengembalikan dugaan kerugian negara atas kasus yang telah menjerat mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka. Saut mengamini jika pihaknya juga bakal menelusuri dan mendalami aset milik bos PT Gajah Tunggal Tbk, Sjamsul Nursalim dan pemilik PT Bukit Alam Surya, Artalyta Suryani alias Ayin yang diduga terkait dengan kasus yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 4,58 triliun tersebut. Saut menyebut penelusuran aset sudah lumrah dilakukan oleh pihaknya dalam mengusut suatu kasus korupsi.
“Biasanya kita memang tidak berhenti disatu tempat kan. Biasanya kan gitu kan," ungkap Saut di gedung KPK lama, Jl HR Rasuna Said, Kav C1, Jaksel, Sabtu (4/11/2017).
Sayangnya Saut belum mau menjelaskan secara rinci mengenai upaya tersebut. Pun termasuk saat disinggung soal aset PT Dipasena Citra Darmaja.
Perusahaan udang itu diketahui milik Sjamsul Nursalim dan sempat dikelola oleh Ayin dan suaminya, Surya Dharma (almarhum). Sjamsul diketahui menyerahkan salah satu asetnya yakni Dipasena untuk melunasi kewajiban selaku obligor penerima BLBI.
Aset Dipasena tersebut diklaim bernilai Rp 4,8 triliun, sesuai dengan sisa utang Sjamsul Nursalim kepada pemerintah atas kucuran BLBI pada 1998 silam. Dari total tersebut, sekitar Rp 1,1 triliun ditagihkan dari sejumlah petani tambak yang berada dibawah naungan Dipasena. Jumlah tersebut diklaim sesuai dengan piutang sejumlah petani tambak kepada Dipasena yang dikelola Ayin dan sang suami.
Akan tetapi setelah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), aset sebesar Rp 1,1 triliun yang dibebankan pada petani tambak itu hanya bernilai Rp 220 miliar. Sedangkan sekitar Rp 3,7 triliun ternyata tidak dilakukan pembahasan oleh BPPN dan tidak ditagihkan ke Sjamsul Nursalim.
Menurut Saut, pihaknya sangat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam upaya itu. Hal itu agar upaya pengembalian kerugian negara menjadi maksimal.
"Cuma kita perlu proses dan waktu aja.
Kita masih pendalaman, masih mengumpulkan data satu-satu dulu ya," ujar Saut.
Untuk diketahui, BDNI milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank berlikuiditas terganggu karena dampak krisis ekonomi 1998. Kemudian BDNI mengajukan pinjaman lewat skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Akan tetapi dalam perjalanannya BDNI menjadi salah satu kreditor yang menunggak. Pemerintah pada saat yang bersamaan mengeluarkan kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang lebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002.
Berdasarkan Inpres tersebut, bank yang menjadi obligor BLBI bisa dinyatakan lunas hutangnya jika membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70 persen dari nilai hutang.
Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 ini menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002. Isi usulan tersebut, yakni agar KKSK menyetujui terkait perubahan proses litigasi BDNI menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Untuk melunasi kewajiban selaku obligor penerima BLBI, Sjamsul menyerahkan salah satu asetnya yakni Dipasena kepada BPPN.
Aset Dipasena tersebut diklaim bernilai Rp 4,8 triliun, sesuai dengan sisa utang Sjamsul Nursalim kepada pemerintah atas kucuran BLBI pada 1998 silam.
Dari total tersebut, sekitar Rp 1,1 triliun ditagihkan dari sejumlah petani tambak. Jumlah tersebut diklaim sesuai dengan piutang sejumlah petani tambak kepada Dipasena yang dikelola Ayin dan sang suami.
Akan tetapi, setelah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), aset sebesar Rp 1,1 triliun yang dibebankan pada petani tambak itu hanya bernilai Rp 220 miliar. Sedangkan sekitar Rp 3,7 triliun ternyata tidak dilakukan pembahasan oleh BPPN dan tidak ditagihkan ke Sjamsul Nursalim.
Meski demikian, Syafruddin tetap mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya. Alhasil, negara diduga harus menanggung kerugian sekitar Rp 4,58 triliun. Tindakan Syafruddin menerbitkan SKL ke Sjamsul Nursalim itu dinilai melanggar hukum.
KPK menduga ada kejanggalan terkait klaim Rp 1,1 triliun tersebut. Dengan sejumlah bukti dan informasi yang dimiliki, penyidik juga mendalami kejanggalan tersebut.
Terkait upaya mendalami dugaan kongkalikong dan manipulasi aset tersebut, penyidik telah memeriksa sejumlah pihak. Termasuk salah satunya Ayin. Selain fokus soal tambak udang, penyidik KPK juga ingin mendalami komunikasi yang terjalin antara Ayin dengan Sjamsul Nursalim dalam proses SKL diterbitkan BPPN pada April 2004.
KEYWORD :KPK korupsi blbi sjamsul nursalim