Ilustrasi reshuffle kabinet Presiden Jokowi
Oleh: Hersubeno Arief
Presiden Jokowi baru saja menandatangani sebuah Instruksi Presiden (Inpres) No 7 Tahun 2017. Media menyebutnya dalam sebuah frasa yang sangat pendek, tapi sangat tepat dan mengena: Inpres “Anti gaduh.”
Secara substansi, Inpres No 7 Tahun 2017 yang nama resminya bernama Inpres Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementrian Negara, dan Lembaga Pemerintah, mengatur alur koordinasi para menteri, termasuk para kepala lembaga non kementrian, Panglima TNI, Jaksa Agung, dan Kapolri.
Di dalam Inpres tersebut diatur mekanisme ketika seorang menteri atau pejabat negara mengambil sebuah kebijakan yang strategis dan berdampak luas, agar terlebih dahulu dilaporkan kepada menteri koordinator terkait.
Untuk kebijakan yang lintas sektoral, harus dilaporkan secara tertulis kepada masing-masing menteri koordinator. Sementara untuk kebijakan yang berskala nasional, penting, strategis, dan berdampak kepada masyarakat luas, harus dilaporkan secara tertulis kepada presiden, dan menteri koordinator untuk dibahas dalam Rapat Paripurna, atau Rapat Kabinet Terbatas.
Intinya dengan terbitnya Inpres tersebut, para menteri, maupun pejabat negara tidak boleh lagi bicara kepada media, tentang sebuah kebijakan yang penting, sebelum melapor kepada Menko atau presiden. Tidak boleh membuat kegaduhan.
Mekanisme semacam itu sesungguhnya sangat biasa dan seharusnya sudah menjadi pemahaman bersama para menteri yang nota bene adalah pembantu Presiden. Di bawah Presiden ada para Menko yang tugasnya mengkoordinasikan para menteri di bawahnya.
IPO: Pilpres 2024 Berpeluang Dua Putaran
Tentu ada sesuatu yang sangat serius mengapa untuk soal koordinasi semacam itu, presiden sampai harus menerbitkan sebuah Inpres? Sebuah Inpres sampai dikeluarkan, menunjukkan hal itu sebagai sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk diatasi.
Wapres Jusuf Kalla mengatakan Presiden Jokowi sudah sering menegur, bahkan marah kepada para menteri dan pejabat negara yang sering berbeda pendapat di muka umum. Kalla juga mengaku sudah sering marah. “Tapi karena lisan tidak mempan, ya Inpres saja sekalian,” tutur Kalla.
Dalam hirarki perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2004, Inpres memang tidak termasuk di dalamnya. Tata urutannya adalah UUD 1945, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Namun UUD 45 memberi kewenangan sebagai kepala pemerintahan, Presiden selain mempunyai wewenang administrasi juga mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan, termasuk menerbitkan Inpres.
Kewenangan Presiden mengeluarkan Inpres disebut sebagai freises Ermessen,_sebuah kewenangan atau diskresi untuk mengisi dan mengantisipasi kekosongan hukum. Masalahnya apakah kegaduhan di kalangan menteri dan pejabat negara sebagai masalah hukum, atau lebih kepada soal leadership dan kemampuan manajerial seorang Presiden?
Dalam tradisi militer dikenal jargon "Tidak ada prajurit yang salah." Yang salah adalah komandan, karena tidak bisa memimpin anak buahnya.
Auto pilot vs too many pilots
Inpres yang mengatur alur koordinasi dan komunikasi publik di lingkungan pemerintahan, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Inpres serupa juga pernah diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Inpres No 4/2004. Isinya juga hampir persis sama, hanya urutan poinnya saja yang berbeda.
Bedanya Inpres No 24/2004 keluar pada tanggal 22 Desember 2004, atau hanya dua bulan setelah SBY yang saat itu didampingi Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden-Wapres pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY-JK sangat menyadari bahwa hal-hal semacam itu harus diatur secara tegas melalui Inpres. SBY-JK tampaknya sudah mengantisipasi bakal munculnya kegaduhan yang tidak perlu, bila hal semacam itu tidak diatur.
Sementara Jokowi baru menerbitkan Inpres No 7 /2017 tanggal 1 November 2017, atau tiga tahun setelah menjadi presiden. Jokowi-JK dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Inpres tersebut terbit setelah masyarakat dibingungkan oleh berbagai perdebatan diantara para menteri, bahkan antara menteri dengan Menko.
Menko Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pernah berbeda pendapat secara terbuka dengan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan soal Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Menko Polhukam Wiranto berbeda pendapat dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal impor senjata milik Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN). Panglima TNI berselisih tajam soal impor senjata dengan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Jenderal Budi Gunawan, dan masih banyak kegaduhan lain yang tidak perlu.
Ada pula Menko yang mengurusi hal-hal diluar tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi). Contoh paling nyata adalah Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan yang mengurusi semua hal termasuk urusan politik yang menjadi kewenangan Menkopolhukam, sampai urusan perumahan, seperti ketika dia hadir dalam topping off Meikarta.
Kendati alur koordinasi dan komunikasi publiknya telah diatur, pada masa pemerintahan SBY banyak pengamat yang mengkritik lemahnya leadership dan manajerial SBY. Mereka menyebutnya sebagai “negara auto pilot.”
Nah dengan kegaduhan yang terjadi selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JKW situasinya lebih parah lagi. Banyak pengamat yang bertanya-tanya, bahkan menduga-duga siapakah sebenarnya yang menjadi pilot. Who’s the pilot? Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro pernah menyebutnya sebagai negara dengan terlalu banyak pilot.
Di kalangan para profesional dikenal sebuah frasa “too many chief, not enough Indians,” alias terlalu banyak bos, tapi tidak ada yang jadi anak buah.
Secara teknis kondisi “auto pilot,” jelas lebih baik dan aman dibandingkan dengan tidak jelasnya “siapa yang menjadi pilot?”. Dalam kondisi auto pilot, baik dalam penerbangan maupun pelayaran, seorang nahkoda atau pilot memasang mode otomatis sesuai arah kompas, sehingga pesawat atau kapal bisa terbang dan berlayar secara lurus menuju tujuan.
Sebaliknya bisa dibayangkan bila dalam sebuah penerbangan dengan banyak pilot. Mereka akan terlibat dalam perdebatan, pertikaian, dan bahkan mengambil keputusan sendiri-sendiri kemana pesawat akan diterbangkan.
Situasinya menjadi tambah buruk ketika para penumpang yang mendengar dan menyaksikan pertikaian itu turut memihak. Mereka punya pilihan pilot masing-masing. Antar-pendukung ini juga ribut sendiri dan ikut memanaskan situasi. Kabin penumpang akan riuh rendah, kacau balau. Apalagi bila disertai turbulensi. Bila salah kendali pesawat bisa crash. Mendarat darurat.
Kondisi itulah barangkali yang kini disadari oleh Presiden Jokowi. Selain kekacauan koordinasi di kabinet dan pemerintahan, masyarakat juga dihadapkan pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pelemahan daya beli.
Masih ada waktu dua tahun untuk memperbaikinya. Perlu ketegasan dari presiden, bahwa yang mendapat mandat dari rakyat adalah Jokowi-Jusuf Kalla. Para menteri, termasuk Menko hanyalah para pembantu. Mereka setiap saat bisa diganti.
Pasti tidak mudah mengatur para pembantu presiden yang sudah terbiasa merasa menjadi bos. Sambil menunggu Presiden Jokowi mengambil alih kendali pilot, ada baiknya perhatikan kembali apakah sabuk pengaman sudah kencang, kantung-kantung untuk menampung muntahan sudah tersedia, dan masker oksigen berfungsi dengan baik. Siap-siap bila kembali turbulensi.
KEYWORD :Opini Hersubeno Arief