Sabtu, 23/11/2024 12:35 WIB

Duh, Otoritas China Hambat KPK Tuntaskan Kasus RJ Lino

Kantor Pelindo II

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi masih kesulitan dalam proses perampungan proses penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan quay container crane (QCC) tahun 2010 yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Richard Joost Lino. Salah satu yang jadi penyebab lantaran terhalang otoritas pemerintahan China.

QCC itu diketahui dibeli dari  Wuxi Huang Dong Heavy Machinery. Perusahaan itu diketahui berkantor di  China. Berdasarkan informasi yang didapat, KPK kesulitan mengakses atau mendapatkan bukti terkait  jual beli QCC tersebut. Pun termasuk bukti transaksi keuangan.

"Secara rinci tidak bisa kami jelaskan, tapi yang pasti memang masih belum maksimal upaya pencarian bukti di luar, jadi itu salah satu hal yang berpengaruh," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Jakarta, Kamis (23/11/2017).‎

Sejatinya langkah KPK untuk mengakses data tersebut telah dilakukan. Selain menurunkan tim penyidik, KPK juga menurunkan tim pada Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK dan menggandeng Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) guna melakukan diplomasi kepada pemerintah China.

"Segala upaya yang bisa dilakukan untuk bisa memaksimalkan hambatan-hambatan yuridiksi itu akan kita lakukan sepanjang itu sah," terang Febri.

"Sudah ada berbagai upaya yang dilakukan, tapi belum bisa kami rinci saat ini. Jadi kita harus berkoordinasi apakah itu dengan meminta dokumen atau sejenisnya, itu perlu otoritas setempat. Dan sampai saat ini hal itu belum maksimal," ditambahkan Febri.

Lagi-lagi, langkah itu terhalang karena belum adanya mutual legal assistance (MLA) dengan China. "Kalau dihukum lintas negara, karena ini negara berbeda jadi aturan hukumnya juga berbeda. Jadi kita tidak bisa menggunakan kewenangan kita disana (China), jadi kita harus kordinasi semacam kerjasama atau mutual legal assistance atau sejenisnya dan itu perlu persetujuan otoritas setempat (China). sampai saat ini hal itu belum maksimal untuk dilakukan," tutur Febri.

Seperti diketahui, Sudah hampir dua tahun sejak 18 Desember 2015 KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengadaan quay container crane (QCC) tahun 2010. Namun, hingga kini kasus tersebut tak kunjung naik ke tingkat penuntutan. Kasus itu hingga saat ini masih menggantung.

Sempat mengemuka dugaan adanya campur tangan penguasa yang membuat kasus itu mangkrak. Namun, hal itu dengan tegas ditepis lembaga antikorupsi.‎ "Ini soal yuridiksi saja, pencarian bukti di luar negeri. Itu asumsi, KPK tidak berurusan dengan aspek politik," tandas Febri.
‎‎
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata juga sempat mengeluhkan sulitnya meminta izin otoritas China.‎ Padahal, KPK membutuhkan perhitungan kerugian keuangan negara yang diduga ditimbulkan dari korupsi RJ Lino untuk merampungkan penyidikan di KPK.

"Terkait RJ Lino kami masih menunggu penghitungan kerugian negara. Dalam hal kerugian negara kita kan harus tau berapa sih harga sebenarnya dari alat mobile crane atau teks crane yang jadi persoalan kan. Itu kan dibeli di Cina," tutur Alex, sapaan Alexander Marwata.

Selain kasus QCC, KPK juga diketahui tengah mendalami dugaan korupsi  perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan perusahaan asal Hong Kong, Hutchison Port Holdings (HPH). Dugaan korupsi itu sebelumnya dilaporkan Serikat Pekerja (SP) JICT ke KPK pada 2015.

Dalam proses pendalaman itu, lembaga antikorupsi telah meminta keterangan sejumlah pihak. Di antaranya Sekjen Serikat Pekerja (SP) JICT, Firmansyah dan pengamat pelabuhan Ermanto Usman.

Selain memberikan keterangan, keduanya juga memberikan sejumlah dokumen penting terkait dugaan korupsi perpanjangan kontrak tersebut.

Menurut Ermanto, dokumen penting yang  termasuk surat elektronik petinggi Hutchinson mengenai perpanjangan kontrak JICT itu ‎diperoleh langsung dari sejumlah pihak di Hutchinson.

"Dokumen lengkap termasuk yang kami dapatkan dari Hutchinson yang kebetulan dikirim ke kami. Semua tentang proses ini kami dapatkan dan kami serahkan ke KPK. Dokumen terkait perpanjangan kontrak dan termasuk email dari petinggi ke petinggi‎," kata Ermanto usai dimintai keterangan, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/11/2017).‎‎

Diyakini Ermanto, sejumlah dokumen yang telah diserahkan itu semakin memudahkan KPK dalam menyelidiki dugaan korupsi perpanjangan kontrak JICT. Termasuk mengenai dugaan keterlibatan sejumlah pihak.‎ Apalagi, lanjut Ermanto, ‎Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merampungkan audit investigatif. Dimana hasil audit itu menyebut dugaan kerugian keuangan negara kasus ini mencapai Rp 4,08 triliun.

"KPK semakin mengetahui bagaimana konstruksi kasus ini. Pertama ada rekayasa daripada proses ada keterlibatan pihak asing, ada konsultan asing terbaik di dunia seperti  Deutsche Bank. Ini semakin jelas karena ada perhitungan dibuat konsultan profesional luar atau dalam tentang indikasi kerugian negara. Ini diperkuat lagi dengan ada investigasi BPK. Jadi ini sebenarnya kasusnya tidak rumit dibandingkan kasus lain," terang Ermanto.‎

Keyakinan itu juga disampaikan Firmansyah. Dia yakin KPK dapat segera meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan. Firmansyah sepakat, audit investigasi yang dilakukan BPK semakin memperkuat adanya dugaan kerugian keuangan negara hingga Rp 4,08 triliun terkait kasus ini.‎

"Masih penyelidikan. KPK menyatakan ini kasus menarik karena semakin terang terutama adanya audit BPK. Kami harap ini segera di follow up KPK sehngga bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan dan selanjutnya penuntutan. Kami meluruskan apa yang telah disampaikan oleh pimpinan KPK dalam RDP dengan Komisi III beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa belum terjadi kerugian karena proses perpanjangan terjadi pada tahun 2019. Kami luruskan bahwa fakta di lapangan yang terjadi proses perpanjangan tersebut telah efektif di bulan Juni 2015 dengan adanya pembayaran uang muka terhadap perpanjangan JICT sebesar Rp 215 juta," tutur Firmansyah.‎ ‎

Terkait kasus itu, KPK juga telah menerima  sejumlah dokumen yang berkaitan dengan perpanjangan kontrak JICT, Terminal Peti Kemas Koja, dan pembangunan Kalibaru dari Pansus Pelindo II.‎ Selain soal konsensi perpanjangan kontrak JICT, KPK juga menegaskan akan menyelidiki Terminal Peti Kemas Koja dan pembangunan Pelabuhan Kalibaru.

Ketua KPK, Agus Rahardjo sebelumnya memastikan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti berbagai dokumen tersebut melalui penyelidikan. Jika dalam penyelidikan ditemukan dua alat bukti yang cukup, KPK akan meningkatkan status sejumlah kasus tersebut ke tahap penyidikan.

Agus juga berharap dokumen-dokumen itu juga dapat melengkapi penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) yang saat ini tengah diusut KPK. ‎ "Nanti kalau ada proper memang ada alat buktinya nanti kita akan gabungkan dengan penyidikan yang sedang berjalan," ungkap Agus beberapa waktu lalu.‎
 ‎

KEYWORD :

Kasus Korupsi RJ Lino Pelindo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :