Marlen Sitompul | Rabu, 20/12/2017 19:45 WIB
Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi VII DPR dalam waktu dekat akan melakukan sidak proses pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) sejumlah perusahaan pertambangan.
Wakil Ketua
Komisi VII DPR,
Herman Khaeron mengatakan, pembangunan smelter ini terkait dengan kompensasi lainnya seperti bea dan izin ekspor.
"Nanti di masa sidang kami sudah putuskan bersama pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja ke perusahaan pertambangan yang memiliki tanggung jawab untuk membangun smelter," kata Herman, kepada wartawan, Jakarta, Rabu (19/12).
Pemerintah dan DPR, kata politisi Demokrat ini, sudah memutuskan untuk memberikan sanksi berupa financial pinalty bagi perusahaan yang progres pembangunan smelter tidak sesuai ketentuan.
"Sanksinya masih dibuatkan aturannya dan sudah diputuskan bersama pemerintah untuk memberikan sangsi finansial pinalty bagi yang tidak sesuai progresnya. Mengenai besaran sanksinya belum diputuskan," kata Herman.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Susigit mengatakan, pihaknya fokus memantau dan mengevaluasi realisasi ekspor dan kemajuan pembangunan smelter dalam negeri.
"Pasalnya, progres pembangunan smelter menjadi barometer perpanjangan izin ekspor bagi setiap perusahaan," kata Bambang di Jakarta, Rabu (13/12).
Menurut Bambang, perkembangan pembangunan smelter dan realisasi ekspor saat ini sudah on the track. Hal itu merujuk dari data terbaru yang diterima oleh Kementerian ESDM.
“Data terbaru kami, realisasi ekspor dan perkembangan pembangunan smelter dan realisasi ekspor dalam 3 bulan pertama menunjukkan progres positif. Untuk smelter, progresnya beragam, ada yang telah dibangun dan ada yang sedang dibangun,” terangnya.
Untuk perusahaan yang sedang membangun smelter kata Bambang, evaluasinnya akan dilihat setelah 6 bulan sesuai target yang diberikan.
“Kita sudah melihat kesungguhan nyata setiap perusahaan untuk membangun smelter. Memang prosesnya bertahap dan proyeksi rencana detil pembangunan smelter bisa dilihat dari prosentase kurva S setiap perusahaan,” katanya.
Bambang mencontohkan, seperti PT Ceria Nugraha Indotama untuk kategori konsentrat nikel. Meskipun baru mendapatkan rekomendasi izin ekspor per tanggal 4 Juli 2017, namun ada upaya pembangunan smelter dan sudah berjalan sekitar 34 persen.
Sama halnya dengan PT Dinamika Sejahtera Mandiri untuk kategori konsentrat Bauksit yang baru mengatongi rekomendasi per 4 Juli 2017, ada kemajuan sekitar 12 persen.
“Ini baru penilaian 3 bulan pertama, akan tetapi hasil evaluasi akhirnya nanti akan kita lihat setelah 6 bulan, pertanggal 13 Januari 2018,” jelasnya.
Sesuai ketentuan kata Bambang, izin ekspor perusahaan bisa saja dicabut bila dalam 6 bulan progres pembangunan smelter belum mencapai target minimal 90 persen dari rencana kerja. Kemajuan smelter juga merupakan indikator besaran bea keluar yang dikenakan.
“KESDM bersama
Komisi VII DPR juga sedang mengkaji penerapan sanksi finansial bagi perusahaan yang tidak mencapai target, hanya sejauh ini belum diputuskan skemanya seperti apa,” jelasnya.
Berdasarkan data KESDM, untuk kategori konsentrat nikel, perusahaan yang sudah menunjukkan kemajuan pembangunan smelternya hingga 100 persen diantaranya PT Aneka Tambang (100 persen), PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (100 persen), PT Trimegah Bangun Persada (100 persen), PT Gane Permai Sentosa (100 persen), PT Mulia Pasific Resources (100 persen), PT Itamatra (100 persen). Sedangkan untuk kategori konsentrat bauksit diantaranya PT Aneka Tambang (Persero), Tbk (100 persen), PT Cita Mineral Invesindo (100 persen).
Sementara untuk konsentrat dan lumpur anoda diantaranya PT Sumber Baja Prima untuk konsentrat Besi (100 persen) dan PT Primier Bumidaya Industri konsentrat Mangan (100 persen).
KEYWORD :
Warta DPR Komisi VII DPR Herman Khaeron