Marsekal Hadi Tjahjanto dan Jenderal Gatot Nurmantyo.
Oleh: Hersubeno Arief.
Keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membatalkan mutasi 16 perwira tinggi (Pati) TNI mengundang polemik dan spekulasi.
Mantan Mendagri Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid mempertanyakan bahkan mencurigai pembatalan mutasi ini. Apakah itu murni keputusan Panglima TNI, atau keputusan pimpinan tertinggi, dalam hal ini Presiden Jokowi.
Setidaknya ada dua alasan mengapa mutasi ini dipersoalkan.
Pertama, Peristiwa ini tidak lazim terjadi, tapi bukan berarti tidak pernah terjadi. Pada saat SBY menjadi presiden menggantikan Megawati, dia membatalkan penunjukan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI.
SBY memperpanjang masa jabatan Panglima TNI Endriartono Sutarto, padahal dia sudah mengajukan pensiun kepada Presiden Megawati.
Keputusan SBY ini menjadi polemik berkepanjangan dan memicu perdebatan keras di DPR. Sejumlah anggota DPR mengajukan Hak Interpelasi.
Walau sudah mendapat persetujuan DPR, pencalonan Ryamizard akhirnya ditarik. Dia kemudian digantikan oleh KSAU Marsekal TNI Djoko Suyanto.
Kedua, mutasi para Pati sudah melalui rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Seperti dijelaskan oleh mantan Jenderal Gatot Nurmantyo, Hadi Tjahjanto sebagai KSAU dan anggota Wanjakti hadir dan memberi paraf berita acara mutasi tersebut. Dengan begitu bisa disimpulkan Hadi sudah mengetahui dan menyetujui mutasi tersebut.
Hadi beralasan, dia menganulir mutasi itu berdasarkan evaluasi berkesinambungan sumber daya TNI dan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan tantangan masa depan. Hadi membantah ada faktor suka dan tidak suka (like and dislike).
Pernyataan Hadi ini patut dipertanyakan. Apakah dalam rapat Wanjakti sebelumnya hal itu tidak dipertimbangkan. Apakah ketika ikut memberi persetujuan mutasi, dia berada di bawah tekanan?
Dalam tradisi TNI, kendati hirarkinya sangat ketat, namun dalam rapat –rapat, apalagi seperti Wanjakti, para peserta bebas mengutarakan pendapatnya, termasuk bila tidak sepakat. Tetapi setelah diputuskan, maka semua harus taat dan patuh kepada keputusan seorang panglima.
Erat kaitannya dengan politik
Bila kita cermati peristiwa batalnya Ryamizard menjadi Panglima TNI dan dianulirnya mutasi 16 Pati –dari total 85 orang Pati—erat kaitannya dengan tarik menarik kepentingan politik. Bedanya pada peristiwa Ryamizard terjadi pada masa peralihan kekuasaan kepemimpinan nasional. Sementara mutasi kali ini erat kaitannya dengan hiruk pikuk menjelang kontestasi kepemimpinan nasional Pilpres 2019.
Ryamizard yang pernah satu angkatan dengan SBY di Akademi Militer (Akmil) dianggap sebagai orangnya Megawati. Sementara Gatot Panglima TNI pilihan Jokowi yang berubah menjadi penantang potensialnya.
Beberapa catatan berikut setidaknya bisa menjelaskan mengapa mutasi tersebut dibatalkan.
Pertama, dari 16 Pati yang dibatalkan mutasinya, dua diantaranya adalah jabatan Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) TNI AD, dan Komandan Korps Marinir (Dankormar) TNI AL.
Pada masa rezim Orde Baru, kedua jabatan tersebut bersama dengan Pangdam Jaya, dan Komandan Kopassus biasanya dijabat oleh para perwira kepercayaan Presiden Soeharto. Jabatan-jabatan tersebut sangat strategis karena berkaitan dengan pengamanan ibukota dan penguasaan terhadap pasukan-pasukan elite TNI.
Sebagai Panglima TNI yang mempunyai kewenangan komando dan menggerakkan pasukan, wajar bila Hadi ingin jabatan-jabatan tersebut diisi oleh perwira yang punya kedekatan dan loyalitas kepadanya.
Hadi juga tidak mungkin bertindak sendiri, tanpa ada restu dari Jokowi, sebagaimana yang dicurigai oleh Syarwan Hamid.
Kedua, Gatot Nurmantyo diganti secara mendadak sebelum masa pensiunnya tiba. Bila mengikuti usia pensiun normal, Gatot baru akan pensiun pada bulan Maret 2018.
Gatot juga mengaku tidak diberi tahu Presiden ketika akan diganti. Bila dia tahu akan segera diganti, maka dia tidak akan melakukan mutasi.
Akibat pergantian yang mendadak tersebut, Gatot juga tidak mempersiapkan diri dengan baik, sebagaimana kebiasaan para Panglima TNI terdahulu. Kabarnya dia juga segera mengosongkan rumah dinasnya dan pindah ke sebuah apartemen.
Gatot belum sempat berpamitan dengan sejumlah panglima militer negara-negara sahabat, terutama di lingkup ASEAN. Hal itu sudah menjadi tradisi diantara para panglima militer yang akan pensiun dan melepas jabatannya.
Gatot baru akan berpamitan dan berkeliling ASEAN setelah dia dicopot. Karena sudah tidak menjabat lagi, maka dia harus minta izin kepada Panglima TNI yang baru.
Ketiga, Desakan agar Gatot diganti sebenarnya sudah bergema sejak lama, ketika situasi menjelang Pilkada DKI 2017 memanas. Gatot dianggap sangat dekat dengan umat Islam, dan memanfaatkan kedekatannya dengan tujuan politik pada Pilpres 2019.
Mutasi yang dilakukan diakhir masa jabatan, bisa dinilai sebagai upaya Gatot untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di lingkungan TNI, dengan menempatkan orang-orang kepercayaannya. Bagi para penentang Gatot, hal itu harus dicegah.
Momentum bagi Gatot
Pergantian mendadak dan pembatalan mutasi --jika benar Gatot punya agenda politik untuk maju dalam Pilpres 2019-- sebenarnya bisa menjadi berkah di balik musibah (blessing in disguise).
Gatot bisa mengkapitalisasinya menjadi sebuah momentum politik. Kesan bahwa Gatot “didzolimi oleh lingkaran dekat Jokowi, bahkan mungkin oleh Jokowi sendiri bisa menjadi modal yang sangat penting. Publik biasanya akan sangat bersimpati dengan figur tokoh yang didzolimi.
Fenomena tersebut pernah terjadi ketika SBY menjadi Menkopolkam pada saat Megawati menjadi presiden. SBY kemudian mengalahkan Megawati pada Pilpres 2014.
Begitu pula halnya dengan Megawati yang pernah didzolimi di masa pemerintahan Orde Baru. Ketika reformasi bergulir, PDIP pimpinan Megawati keluar sebagai pemenang Pemilu 2009.
Megawati terpilih menjadi wakil presiden, dan kemudian menjadi presiden menggantikan Abdurahman Wahid.
Gatot bisa memanfaatkan dan meniru kedua jalur tersebut. Apalagi berdasarkan sejumlah survei, elektabilitas Gatot juga cukup tinggi. Dia bersama Gubernur DKI Anies Baswedan banyak dijagokan sebagai figur alternatif di luar Jokowi dan Prabowo.
Jika memang Gatot punya niat serius dan keberanian untuk bertarung dalam palagan Pilpres 2019, maka dia harus bergerak cepat. Pendaftaran capres/cawapres akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2018. tinggal delapan bulan lagi. Jika harus menunggu sampai pensiun pada bulan Maret, Gatot akan kehilangan waktu.
Dalam politik waktu dan momentum sangat berharga. Anda harus cepat dan berani mengambil kesempatan.
“Opportunities are like sunrises. If you wait too long, you miss them.”
--William Arthur Ward--
KEYWORD :Opini Mutasi Pati TNI Panglima TNI