Marlen Sitompul | Senin, 15/01/2018 23:12 WIB
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah
Jakarta - Kasus dugaan korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto hingga saat ini masih menyisakan tanda tanya. Salah satunya terkait kerugian negara dan sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah misalnya, hingga saat ini belum habis pikir dengan skandal kasus dugaan korupsi yang disebut merugikan keuangan negara senilai Rp 2,3 triliun itu.
Untuk itu, Fahri memberikan catatan yang ditujukan kepada pakar hukum tata negara
Mahfud MD yang kerap membela Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) dalam kasus e-KTP.
"Pertama, saya mempersoalkan istilah #MegaKorupsiEKTP yang misleading karena justru kerugian negara belum dihitung oleh pihak yang legal. Angka 2,3T itu faktanya tidak ada dan tuduhan terbesar ke SN Rp. 500 M sdh dihapus, sisanya 70 milyar," kata Fahri, dalam akun twitternya, Senin (15/1).
Kedua, lanjur Fahri, bagaimana disebut korupsi berjamaah paling besar jika tersangkanya di DPR hanya Novanto. Menurutnya, maksud berjamaah harus lebih dari satu. "Tersangka lain 2 pegawai Kemendagri dan seorang pengusaha. Adapun yang lain, hanya 1 pengusaha," katanya.
"Ketiga, saya setuju dengan kesimpulan prof @mohmahfudmd sebab ini semua tidak bermula dari audit BPK, tapi dimulai dari nyanyian Nazar. Lalu memaksa
KPK mencari korban. Nanti akan nampak diujung," lanjut Fahri.
Keempat, Fahri bilang bukan tidak ada korupsi dalam tiga kali audit BPK ada kerugian negara kecil sekali itupun hanya kurang bayar. "Mustahil uang 5,7 T bocor 0. Tapi
KPK bilang bancakan 2,3T? Melibatkan hampir semua anggota komisi 2? Padahal komisi 2 belum ada tersangka? SN bukan komisi 2," jelasnya.
Kelima, menurutnya, fakta ini adalah permainan antar supplier yang sampai ke pemerintah. Dimana, para supplier itu tidak akan menciptakan kerugian negara baru. "Itu adalah kesalahan pengusaha vs pengusaha. Dan setiap tender yg sub kontraktornya banyak biasa terjadi. Lalu mereka lari ke pemerintah," kata Fahri.
"Keenam, justru ini menarik prof. Kenapa yang mengembalikan uang katanya 14 orang justru tidak dihukum? Kalau gitu SN juga bisa dong?" lanjut Fahri.
Fahri mengingatkan Mahfud bahwa Andi Narogong sudah menjadi JC, maka mau tidak mau harus terima bahkan mengaku.
"Kedelapan, orang itu namanya ibu Mustoko Weni (Fraksi Golkar anggota komisi 2) meninggal 18 Juni 2010 tetapi dituduh bagi-bagi uang sepanjang Oktober 2010. Sekitar 5 bulan setelah meninggal kok bisa bagi-bagi uang?" terangnya.
"Sembilan, kalau ini sudah terlalu sering prof,
KPK menyebut nama orang sampai rusak hubungan keluarga, hancur usahanya, dll. Terlalu banyak korban," lanjutnya.
Sepuluh, kata Fahri, semua ini adalah persekongkolan kolaborasi untuk mengatur perkara yang tujuannya bukan penegakan hukum tetapi sandiwara belaka.
"Sebelas, saya senang akhirnya prof Mahfud jumpa pak Gamawan. Menurut saya dia lebih bisa dipercaya daripada ketua
KPK yg punya interes atas kasus ini," kata Fahri.
Lalu, Fahri mengatakan, Gamawan Fauzi yang juga mantan Menteri Dalam Negeri meniti karir dari bawah lebih dari 30 tahun dan terkenal sebagai pejabat berintegritas, menerima piagam berbagai lembaga, tapi mau dihancurkan karena Agus Raharjo punya masalah.
"Tigabelas, demikianlah catatan saya prof Mahfud semoga dukungan bapak kepada
KPK tidak disalahgunakan dan akhirnya bapak kecewa kemudian. Siapa yang tidak anti korupsi...? Bukan itu masalahnya karena hukum itu sukses bukan oleh hasil tapi oleh adil," demikian Fahri.
KEYWORD :
Kasus e-KTP Fahri Hamzah Mahfud MD KPK