Juru bicara KPK Febri Diansyah
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritisi Pasal 245 yang termaktub dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasalnya, UU itu memaksa KPK mengantongi restu presiden jika memanggil dan memeriksa anggota DPR.
UU MD3 itu diketahui baru saja disahkan oleh pemerintah dan DPR. Dalam pasal 245 poin 1 disebutkan "Pemanggilan dan Permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan".Kemudian dalam poin 2 pasal itu disebutkan "Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: (a). tertangkap melakukan tindak pidana; (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.Ditenggarai klausul yang menjadi polemik dalam pasal tersebut terkait redaksional `disangka`. Redaksional `disangka` itu ditenggarai hanya mengerucut pada seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, bukan pada seorang saksi yang diduga terlibat atau mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi.Baca juga :
Gus Muhaimin Pimpin Rapat Perdana Pansus Haji
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri sebelumnya telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan langsung oleh presiden.Lembaga antikorupsi menegaskan menolak jika pemanggilan atau pemeriksaan terhadap anggota DPR harus melalui izin Presiden. KPK juga menegaskan enggan meminta restu atau rekomendasi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI untuk memeriksa anggota DPR yang terlibat kasus korupsi.
Gus Muhaimin Pimpin Rapat Perdana Pansus Haji
KPK Presiden Joko Widodo DPR