Menristekdikti Mohamad Nasir
Jakarta – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengungkapkan, sebanyak 3.800 dari 5.366 guru besar (profesor, Red) belum menerbitkan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi.
Padahal kewajiban yang dikenakan kepada para guru besar di Indonesia tergolong ringan, yakni satu publikasi per tiga tahun sekali. Berbeda halnya dengan Taiwan yang diwajibkan membuat empat publikasi ilmiah setiap tahun.
“Kalau kita bandingkan dengan luar negeri, Taiwan misalnya, satu tahun di sana wajib empat publikasi. Sedangkan Indonesia hanya satu per tiga tahun. Betapa ringannya,” ujar Menristekdikti usai pelantikan Rektor Unsyiah di Jakarta, Selasa (27/2).
Menteri Nasir mengatakan, ada dua masalah dominan yang menghambat guru besar Indonesia menghasilkan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi. Pertama yakni kurangnya perhatian terhadap kewajiban yang dibebankan.
“Kedua, tidak bisa memahami media apa yang bisa dia lakukan. Namanya guru besar kan punya mahasiswa. Nah, mahasiswa kan punya tugas skripsi, tesis, atau desertasi. Itu kalau dipublikasikan bisa menghasilkan jurnal publikasi,” ujar Nasir.
Guru besar tak harus menjadi penulis utama. Nasir menyebut, dia sudah berkali-kali memberi penegasan bahwa guru besar bisa bertindak sebagai penulis pendukung (co-author).
Pun demikian dengan publikasi di jurnal bereputasi. Jurnal ilmiah tak melulu harus dipublikasikan di Scopus, jika selama ini ada alasan terkendala anggaran. Menteri Nasir mengimbau para guru besar bisa memanfaatkan publikasi ilmiah lainnya.
“Ada Thompson Reuters dan Emerald. Kadang-kadang mereka ini tidak mau tahu dengan yang lain. (Dua publikasi ini) boleh saja, yang penting jurnal bereputasi,” jelasnya.
KEYWORD :Pendidikan Kemristekdikti Publikasi Ilmiah Profesor Guru Besar