Pernikahan anak (IST)
Jakarta – Ketua Dewan Pengawas Girls Not Brides dan Putri Belanda, Mabel van Oranje mengatakan, salah satu solusi untuk mencegah perkawinan dini (di bawah umur, Red) ialah dengan menjaga anak-anak untuk tetap bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurutnya, dengan pendidikan serta wawasan yang luas akan membuat anak-anak terhindar dari perkawinan dini, sehingga lebih banyak anak perempuan yang dapat diberdayakan dalam hal-hal positif.
“Dengan bekerja sama untuk menjaga agar anak-anak tetap berada di sekolah dan di luar perkawinan, kita dapat menciptakan dunia dimana semua anak perempuan diberdayakan dan bertangggung jawab atas masa depan mereka sendiri,” kata Mabel van Oranje dalam diskusi bersama 100 remaja Indonesia tentang upaya mencegah perkawinan anak di Indonesia, Rabu (07/03) di Jakarta.
“Dengan ini, kita dapat meningkatkan pendapatan, produktivitas dan PDB,” lanjutnya.
Mabel melanjutkan, perkawinan usia anak, disebabkan oleh hilangnya produktivitas ekonomi, sangat menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan Indonesia. Untuk itu menurutnya, pendidikan dibutuhkan demi menciptakan dunia, dimana anak perempuannya dapat meningkatkan potensinya.
”Itu adalah dunia yang lebih baik untuk kita semua,” katanya.
Senada dengan Mabel, Duta besar (Dubes) Belanda, Rob Swartbol, menilai pendidikan memiliki peran kuat dalam mencegah perkawinan anak. ”Menjaga anak perempuan di sekolah berarti memastikan anak perempuan dapat bernegosiasi untuk dirinya sendiri dan menentukan masa depan mereka,” katanya.
“Perkawinan usia anak adalah pelanggaran terhadap hak anak. Hal ini sangat mempengaruhi anak perempuan dan membahayakan kehidupan serta mata pencaharian mereka,” kata Kepala Perwakilan UNICEF Gunilla Olsson. “Dengan melindungi anak perempuan dari perkawinan usia anak, mereka akan memiliki kesempatan bertahan dan berkembang yang lebih baik.”
Menurut sebuah penelitian, praktik pernikahan anak sangat terkait dengan kemiskinan, dengan anak perempuan dari rumah tangga termiskin lima kali lebih mungkin untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan dari rumah tangga terkaya.
Menurut Anggota Jaringan Aksi Inklusif dan Inspiratif untuk Anak Perempuan (AKSI), Nadira Irdiana, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan Agenda 2030. Sebagai salah satu dari lima belas negara ‘pencari jalan’ dari “Kemitraan Global untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Anak”, Indonesia siap untuk menyediakan kepemimpinan global dalam perjuangan mengakhiri segala bentuk kekerasan, yang mencakup penghapusan perkawinan anak.
“Jaringan AKSI berkomitmen bekerja sama untuk mengoptimalkan potensi remaja perempuan Indonesia agar dapat menjadi inspirasi bagi teman sebayanya dan dapat ikut serta secara aktif dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender, sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” kata Nadira Irdiana.
AKSI, sebuah jaringan yang terdiri dari 38 organisasi lokal, nasional, dan internasional, merupakan kemitraan penting dalam usaha mengakhiri perkawinan usia anak melalui pemberdayaan anak perempuan dan advokasi kesetaraan gender. Di Indonesia, perkawinan anak menghasilkan 375 pengantin anak setiap harinya – salah satu angka tertinggi di dunia.
KEYWORD :
Pernikahan Anak Belanda AKSI Hari Prempuan Internasional