Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (foto: Google)
Jakarta – Angka korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan, enam dari sepuluh perempuan Indonesia pernah menjadi korban KDRT dari pasangannya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, angka perbandingan tersebut baru mengakomodir perempuan yang sudah menikah lewat Kantor Urusan Agama (KUA). Selebihnya, belum terdata dengan baik, sebab tak dilindungi oleh Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
“Undang-undang KDRT hanya untuk pasangan yang menikah resmi. Ada banyak pasangan yang menikah tidak resmi dan belum terdata oleh pemerintah,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Usman Basuni, Jumat (9/3) di Jakarta.
Bentuk-bentuk KDRT terhadap perempuan, kata Usman, ada berbagai macam. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran. Sementara data terakhir yang diperoleh 2016 lalu, sebanyak satu dari tiga perempuan Indonesia, pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
“Motifnya beragam, bisa karena ekonomi, perselingkuhan, balas dendam, perbedaan karakter, hingga penyalahgunaan narkoba,” jelas Usman.
Karena itu, demi menghindari KDRT, Usman mengimbau supaya pasangan menikah pada usia yang matang. Sebab, kasus KDRT kerap terjadi pada pernikahan usia anak.
“Faktor pendidikan juga penting. Perempuan yang punya tingkat pendidikan tinggi, kecil kemungkinan jadi korban KDRT,” terang Usman.
KPPPA Kekerasan Perempuan Keluarga KDRT