Sabtu, 23/11/2024 12:49 WIB

Demokrat: Perintah PN kepada KPK Cacat Hukum

Putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) dinilai cacat hukum. Sebab, praperadilan adalah sarana untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik.

Mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono usai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: Rangga Tranggana/jurnas.com)

Jakarta - Putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) dinilai cacat hukum. Sebab, praperadilan adalah sarana untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik.

Demikian disampaikan Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, melalui rilisnya, Jakarta, Rabu (11/4). Menurutnya, praperadilan sebagai langkah untuk menilai sah tidaknya penangkapan, penahanan, (Pasal 77 huruf a KUHAP) dan yang terbaru berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 juga menguji sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka.

"Itulah wewenang Praperadilan di KUHAP dan perluasannya sebagaimana Putusan MK No.21/2014. Dikatakan praperadilan ini adalah semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik," kata Jansen.

Kata Jansen, putusan Praperadilan PN Jaksel ini tidak masuk baik diketentuan KUHAP maupun perluasannya dalam putusan MK tersebut.

"Pertanyaannya sekarang dimana kita akan meletakkan putusan ini dalam pranata aturan hukum kita. Itu maka kami katakan putusan ini telah menabrak aturan hukum yang ada. Putusan ini cacat hukum. Karena cacat maka tidak perlu di jalankan," tegasnya.

Jansen memaklumi, jika putusan PN itu menabrak hukum di luar Jakarta yang jauh dari informasi para pakar hukum. Namun, ia menyayangkan putusan tersebut justru terjadi di Jakarta yang bertebaran para ahli hukum.

"Dan juga PN Jakarta Selatan ini jaraknya kan hanya sepelemparan batu saja dari kantor Mahkamah Agung. Bisa juga konsultasi kesana, bertanya ke hakim yang lebih senior," katanya.

Sebagai institusi yang mengawasi produk peradilan, Jansen meminta, agar MA serius meluruskan kesalahan tersebut. Karena, putusan yang berisi perintah agar KPK menetapkan tersangka baru dianggap jelas diluar kewenangan praperadilan.

"Praperadilan itu kompetensinya hanya soal keabsahan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut. Meliputi menangkap, menahan, menggeledah dan menyita serta menguji penetapan seseorang sebagai tersangka," tegasnya.

"Bukan malah terbalik hakim Praperadilan menjadi meminta seseorang ditetapkan menjadi tersangka. Logikanya, kalau seseorang itu nantinya ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik karena putusan ini, maka orang ini menjadi tidak bisa lagi dong menguji status tersangkanya ini ke praperadilan. Karena itu sudah perintah hakim praperadilan," kata Jansen.

Diketahui, sebagaimana putusan hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan‎, hakim Effendi Mukhtar yang diterangkan pejabat Humas PN Jaksel, Achmad Guntur, Selasa (10/4/2018). Dalam putusannya hakim memerintahkan lembaga antikorupsi melakukan penyidikan lanjutan atas kasus tersebut.

"Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk atau melimpahkannnya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat," ucap hakim Effendi Mukhtar seperti diuraikan Achmad Guntur.

Nama-nama itu sebelumnya tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya. Perkara Budi Mulya sendiri sudah cukup lama berkekuatan hukum tetap.

KEYWORD :

Kasus Century KPK Demokrat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :