Prabowo Subianto
Oleh : Hersubeno Arief
Deklarasi Prabowo Subianto sebagai Capres 2019 anti klimaks. Pemberian mandat —begitu nama resminya— oleh Partai Gerindra kepada Prabowo disambut sepi. Media, terlebih warga di dunia maya menyambutnya biasa-biasa. Seolah tak terjadi apa-apa. Sejumlah pengamat menyebutnya sebagai “deklarasi galau.” Deklarasi setengah hati.
Berdasarkan data mesin pemantau percakapan Politicawave, warga dunia maya meresponnya dengan datar. Tidak ada kehebohan yang menjadi ciri khas netizen menyikapi sebuah peristiwa penting seperti itu. #PrabowoPresiden2019 sempat menjadi trending topic, namun hanya sebentar. Nama Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan justru muncul sebagai kluster dalam percakapan nitizen.
Yang menarik, akun-akun yang meramaikan #PrabowoPresiden2019 sebagian besar akun yang diidentifikasi berafiliasi dengan PKS, bukan Gerindra. PKS sejauh ini merupakan partai yang secara resmi telah menyatakan akan berkoalisi dengan Gerindra.
Mengapa acara yang sangat penting itu komunikasi politiknya tidak digarap secara serius oleh Gerindra, malah terkesan ditutup-tutupi? Apakah acara tersebut memang tidak penting? Media bahkan tidak mendapat akses untuk melaporkan secara langsung acara yang dilaksanakan di kediaman Prabowo di Bukit Hambalang, Bogor itu.
Prabowo Bertekad Lanjutkan Pembangunan IKN
Hingga sore hari menjelang pemberian mandat kepada Prabowo, Rabu (11/4) muncul banyak keraguan, apakah Prabowo bersedia menerima pencapresan tersebut. Pernyataan Prabowo dan adiknya Hasim Djojohadikusumo memberi signal kuat Prabowo ragu. Kalau toh dia memutuskan untuk nyapres, maka waktunya tidak sekarang. Sangat berbeda dengan apa yang disampaikan para pengurus Gerindra. Mereka haqul yakin Prabowo akan maju.
Prabowo ketika ditanya wartawan menjawab ragu karena tiketnya belum tersedia. Padahal Presiden PKS Sohibul Iman sudah mengkonfirmasi partainya akan mendukung Prabowo. Hasim malah bicara tiga faktor yang harus dipenuhi sebagai syarat pencapresan Prabowo. Pertama, Gerindra memenangkan 17 Pilkada serentak yang kini tengah diikuti. Kedua, faktor kesehatan Prabowo. Ketiga, tersedianya logistik.
Ketiga syarat ini sampai sekarang belum jelas apakah sudah terpenuhi. Setidaknya yang kasat mata belum terpenuhi adalah kemenangan di pilkada serentak yang baru akan berlangsung 27 Juni 2018. Beberapa kandidat yang diusung Gerindra, terutama di dua daerah penting yang menjadi kantong suara nasional seperti Jabar, dan Jateng elektabilitasnya masih kalah dibanding kandidat lain. Mereka harus berjuang keras untuk memenangkan kontestasi.
Berdasarkan tiga faktor yang disampaikan Hasim, dan keraguan Prabowo, maka diperkirakan pencapresan baru akan disampaikan paling cepat pada bulan awal Juli. Toh pendaftaran bakal capres/cawapres baru akan berlangsung pada tanggAL 4 hingga 10 Agustus. Jadi masih cukup waktu.
Mengapa pencapresan tersebut terkesan sangat dipaksakan, dan harus segera dilakukan?
Tarik menarik kepentingan
Ada beberapa pertimbangan dan kepentingan, mengapa mandat harus segera diberikan, dan Prabowo harus menerimanya.
Pertama, secara internal Prabowo tidak mungkin lagi terus menolak aspirasi dari pengurus, terutama pengurus daerah. Desakan tesebut sangat kuat, dan Prabowo sudah beberapa kali menghindar. Hal itu tidak bisa terus menerus ditunda, apalagi dihindari.
Prabowo harus menerima mandat tersebut untuk menjaga soliditas internal menjelang pilkada serentak, dan proses pencalonan anggota legislatif. Dalam rezim pemilu serentak, dimana Pileg dan Pilres dilakukan secara bersamaan, maka siapa figur capres yang didukung akan sangat menentukan perolehan suara dalam Pileg. Mayoritas pemilih menjatuhkan pilihan kepada Gerindra karena melihat figur Prabowo.
Dari hasil survei, elektabiitas Gerindra saat ini sedang bagus-bagusnya. Elektabilitasnya bersaing dengan PDIP. Jadi harus terus dijaga. Dengan penerimaan mandat oleh Prabowo mesin politik Gerindra bisa dijaga tetap panas, dan para caleg kembali semangat bekerja.
Kedua, penerimaan mandat tersebut sebagai upaya meyakinkan partner koalisi, terutama PKS bahwa Gerindra sungguh serius akan berlaga menantang Jokowi. Sebab bagi PKS tidak ada pilihan lain kecuali harus berkoalisi dengan Gerindra. Mereka tidak mungkin bergabung dengan Jokowi, karena sudah menolak tawaran tersebut, bahkan menantang dengan gerakan #2019GantiPresiden. Soal siapa yang jadi presiden, belum ada kesepakatan.
Sebaliknya bagi Gerindra, posisi PKS sangat penting dan krusial. Sampai saat ini kendati telah menjalin hubungan dekat, posisi PAN belum jelas. Bila PKS membelot dengan membentuk poros lain, misalnya dengan PAN dan PKB, maka Gerindra bisa game over.
Ketiga, dari sisi eksternal keputusan Prabowo tersebut menutup manuver kubu Jokowi. Utusan Jokowi sudah puluhan kali mencoba merayu Prabowo agar bersedia menjadi cawapres Jokowi. Pertemuan dengan Luhut Panjaitan di sebuah restoran Jumat (6/4) pekan lalu, menunjukkan upaya kubu Jokowi untuk melobi Prabowo masih terus berlanjut.
Buntut dari pertemuan dengan Luhut, Prabowo harus menjelaskan benarkah ada kesepakatan politik rahasia dengan mantan komandannya di pasukan baret merah itu. Ada spekulasi Prabowo diminta maju, hanya untuk kalah dan memberi jalan bagi Jokowi melenggang mulus kembali ke kursi presiden.
Pernyataan Luhut sehari setelah pertemuan, bahwa dia mendorong Prabowo maju sebagai capres menimbulkan pertanyaan besar. Ada apa Luhut sebagai tangan kanan Jokowi kok sangat berkepentingan dan sampai harus bertemu khusus untuk mendorong Prabowo. Kendati Luhut meralat pernyataannya, dan membantah mendorong Prabowo, namun opini sudah telanjur berkembang.
Sekarang bola sepenuhnya di tangan Prabowo. Selama empat bulan ke depan dia punya waktu untuk mendongkrak elektabilitasnya. Bila elektabilitasnya tidak kunjung naik, dan peluangnya mengalahkan Jokowi tipis, Prabowo akan kesulitan mencari figur yang bersedia digandengnya sebagai cawapres. Lebih buruk lagi, tidak ada satupun investor politik yang bersedia membiayainya maju Pilpres. Secara ekonomi, apalagi politik sangat tidak menguntungkan mendukung calon yang bakal kalah.
Menyimak pidato Prabowo saat menerima mandat di Hambalang, sesungguhnya tersirat bahwa kesiapannya maju dalam Pilpres masih belum pasti. Sangat mungkin Prabowo mencari celah win-win solution, memilih kandidat lain yang bisa mendongkrak elektabilitas partai, sekaligus mengalahkan Jokowi.
Prabowo punya pengalaman soal itu dalam Pilkada DKI 2017. Di tengah jalan PKS bersedia menarik calonnya Mardani Ali Sera sebagai cagub, dan Gerindra merelakan Sandiaga Uno turun pangkat dari cagub menjadi cawagub. Mereka kemudian mengusung Anies Baswedan—tokoh non partai—berpasangan dengan Sandiaga. Dengan dukungan yang solid dari umat Islam, Anies-Sandi berhasil mengalahkan pasangan incumbent Ahok-Djarot.
Apakah Prabowo bersedia mengulang skenario tersebut dengan sedikit modifikasi? Atau dia membuat skenario baru yang membawanya kepada dua buah pilihan : sebagai pemenang, atau pecundang. It’s your choice General!
KEYWORD :
Prabowo Subianto Capres 2019 Opini