Marlen Sitompul | Sabtu, 26/05/2018 17:29 WIB
Ilustrasi korupsi (foto: Forbes)
Jakarta - Ketua umum Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Arifin Nur Cahyono mengkritisi alokasi anggaran pengadaan barang dan jasa Pemprov DKI Jakarta senilai lebih kurang Rp 4 triliun.
Arifin mempermasalahkan 80 persen dari anggaran itu atau senilai Rp 3,5 triliun justru dikuasai Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPJB) Pemprov DKI dengan hanya memberikan 20 persen untuk PPBJ tingkat kota. Padahal menurut dia anggaran yang lebih besar diberikan kepada PPBJ tingkat kota.
"Porsi anggaran di BPPBJ Balaikota terlalu besar, hampir 80 persen," kata Arifin, kepada wartawan, Sabtu (26/5).
Ia menduga, ada penyelewengan dalam penggunaan anggaran itu. Contoh kasusnya adalah proyek pembangunan gedung olahraga di Pademangan Jakarta Utara, rehab gedung Puskesmas dan sekolah yang menggunakan anggaran dari BPPJB Pemprov DKI. Padahal seharusnya, proyek semacam itu dikerjakan oleh PPBJ tingkat kota.
"Ini kok anggaran dipusatkan di BPPBJ Pemprov, lah kalau terjadi kongkalikong disana bagaimana?" ketusnya.
Selain itu, ia juga menduga, hal itu bisa terjadi karena ada oknum BPPBJ yang malah jadi mafia proyek sebagaimana saat penunjukan PT MKI sebagai pemenang tender proyek rehab berat tahun 2017 pada era Ahok-Jarot. Saat itu ada 118 sekolah di Jakarta yang direhab oleh PT MKI menyimpan banyak masalah.
"Dari pantauan selama ini kami menduga ada oknum pejabat berinisial F yang sangat dipercaya penguasa lama DKI BPPBJ yang selama ini mengatur pratek permafiaan pengadaan proyek pengadaan barang dan Jasa," bener Arifin.
Modusnya dengan mempengaruhi atau bekerja sama dengan panitia lelang dalam hal ini ULP (Unit Layanan Pengadaan) untuk memberikan penilaian subjektif serta mengkondisikan agar perusahaan itu yang keluar sebagai pemenang tender.
"Para mafia pun akan mencari perusahaan lain atau meminjam bendera perusahaan lain yang sekedar dipakai sebagai nama perusahaannya saja. Sebagaimana pada kasus pengadaan proyek rehabilitasi 118 gedung sekolah ditahun 2017 yang banyak masalahnya itu," jelasnya.
"Selain perusahaan milik mafia, banyak sekali perusahaan fiktif yang dipakai sebagai bendera untuk memenangkan proyek tsb. Padahal setelah ditelusuri, ternyata yang bermain adalah kelompok mafia itu sendiri. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam mengeruk keuntungan dan asal-asalan dalam mencari perusahaan yang dipakai, yang penting bisa menang lelang," lanjutnya.
Bila perusahaanya sudah menang untuk proyek sejenis, lanjutnya, maka nantinya mereka akan meminjam bendera perusahaan lain. Yang mana biasanya para pemilik perusahaan yang dipinjam benderanya itu sama sekali tidak tahu menahu soal urusan proyek.
"Mereka baru mengetahui setelah menang dan pemilik perusahaan itu hanya diberikan sejumlah uang jasa (fee) karena telah meminjamkan bendera perusahaanya," imbuhnya.
Kelompok mafia menggunakan banyak bendera perusahaan duga dia lagi untuk menghindari adanya kecurigaan bahwa perusahaan milik mereka yang sering menang apalagi untuk beberapa proyek sekaligus oleh auditor.
“Mudah ketahuan auditor kata mereka. Maka dari itu, mereka meminjam bendera perusahaan lain untuk mengelabuhi, padahal yang mengerjakan semua transaksi pembelian sampai pemasangan barang adalah para mafia itu sendiri," jelasnya.
Untuk memudahkan aksi mereka, maka semua bukti-bukti pembelian dipalsukan, sehingga seolah mereka membelanjakan barang senilai harga yang ditetapkan. Nah, karena harga barangpun sudah digelembungkan (mark-up) maka tentu mereka memperoleh keuntungan besar melalui trik ‘markup’ harga tersebut.
"Keuntungan yang diperoleh nantinya akan dibagi-bagi kepada oknum pejabat yang terlibat," sesalnya.
KEYWORD :
Mafia Proyek Korupsi Pemprov DKI Jakarta