| Kamis, 31/05/2018 10:14 WIB
Gedung KPK RI (foto: Jurnas)
Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif tak menampik Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) akan berdampak pada pelemahan lembaga antikorupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Hal ini karena dalam RKUHP terdapat sejumlah pasal mengenai tindak pidana korupsi.
"Kami memandang, masih terdapat aturan yang beresiko memperlemah
KPK dan pemberantasan korupsi jika sejumlah pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi masih dipertahankan di
RUU KUHP tersebut," ungkap Laode di Gedung
KPK, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Revisi KUHP yang telah berjalan selama bertahun-tahun ini, bakal disahkan pada Agustus 2018. Terkait RKUHP ini,
KPK telah melayangkan lima surat kepada Presiden Joko Widodo, Kerja Panja RKUHP di DPR, dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham).
KPK dalam surat tersebut menyatakan menolak dimasukkannya pasal tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP.
"
KPK meminta agar tindak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP," kata Laode.
Dengan masuknya pasal korupsi dalam RKUHP, kata Laode, berisiko `mengebiri` kewenangan
KPK dan terutama melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini karena Pasal 1 angka 1 UU
KPK telah menyatakan mandat
KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, bukan dalam KUHP.
"Sementara di
RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga
KPK," ucap dia.
Tak hanya itu, aturan-aturan baru yang diadopsi dari United Nation Convention Anti-Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU nomor 7 tahun 2006 seperti korupsi di sektor swasta dan lain-lain berisiko tidak dapat ditangani oleh
KPK. Selain itu, RKUHP memiliki disparitas atau perbedaan yang cukup jauh dengan UU Tipikor yang selama ini digunakan
KPK untuk menjerat koruptor.
Dicontohkan Laode, dalam RKUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal, uang pengganti diperlukan untuk mengganti kerugian uang negara atau asset recovery akibat tindak pidana korupsi tersebut.
Dalam RKUHP ini juga diatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif. RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi.
Bahkan, terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi. Hal itu berbeda dengan UU Tindak Pidana Korupsi saat ini.
"Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan yang diatur di luar KUHP atau diatur dalam UU tersendiri ke dalam RKUHP. Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Tipikor dimasukkan ke dalam Bab Tindak Pidana Umum RKUHP. UU Tipikor lebih mudah diubah atau direvisi daripada KUHP. Kodifikasi RKUHP tidak berhasil mensistematisasi dan menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab undang-undang," terang Laode.
KPK mendukung penuh upaya memperbaharui aturan hukum pidana secara umum dengan segera mengesahkan KUHP baru ini. Namun,
KPK berharap pengesahan
RUU KUHP tersebut tidak berakibat merugikan pemberantasan korupsi.
Kepada semua pihak, kata Laode, KKK mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang berakibat sangat buruk terhadap bangsa ini. Sikap dan aturan-aturan yang memperlemah pemberantasan korupsi tentu akan berakibat buruk bagi masa depan Indonesia.
Karena itu,
KPK memberikan sejumlah rekomendasi terkait RKUHP.
KPK salah satunya merekomendasikan untuk mengeluarkan delik-delik yang berhubungan dengan pidana khusus, seperti korupsi, narkoba, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, dan tindak pidana terorisme. Hal itu dimaksudkan agar pembahasan RKUHP tidak berlarut-larut.
"Revisi delik korupsi akan lebih efektif dan sederhana dilakukan melalui revisi Undang-undang Tipikor, termasuk kebutuhan untuk memasukkan ketentuan UNCAC yang belum masuk kedalam UU Tipikor, maupun penyesuaian dan peningkatan sanksi bagi pelaku korupsi," tandas Laode.
KEYWORD :
RUU KUHP KPK Ketua DPR