Marlen Sitompul | Jum'at, 01/06/2018 15:28 WIB
Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang sedang pembahasan antara DPR dengan pemerintah menuai polemik. Dimana, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut RUU KUHP tersebut berpotensi melemahkan kewenangan pemberantasan korupsi.
Wakil Ketua
KPK Laode M Syarif mengatakan, pihaknya menolak pasal yang mengatur tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus dalam
RUU KUHP. Untuk itu,
KPK telah melayangkan surat kepada
Presiden Jokowi, Ketua Panja RKUHP DPR serta Kementerian Hukum dan HAM.
"
KPK menolak dimasukkannya tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP dan meminta agar tindak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP," kata Laode di Gedung
KPK, Jakarta, Rabu (30/5).
Sementara, lanjut Laode, dalam
RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga
KPK dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu risiko jika pemerintah menyetujui
RUU KUHP tersebut.
Jika
RUU KUHP itu benar-benar direstui pemerintah, lanjut Laode, aturan-aturan baru yang diadopsi dari UNCAC seperti korupsi di sektor swasta pun berisiko tidak dapat ditangani oleh
KPK.
"
RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal, uang pengganti diperlukan untuk mengganti kerugian uang negara akibat tindak pidana korupsi," tegasnya.
Selain itu, kata Laode,
RUU KUHP juga ikut mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif.
RUU KUHP pun mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat tidak pidana korupsi.
"Hal berbeda dengan UU Tipikor saat ini. Terjadi juga penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, dan tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan yang diatur di luar KUHP ke dalam RKUHP," tutur Laode.
Atas hal tersebut,
KPK memberikan sejumlah rekomendasi agar penyelesaian
RUU KUHP tidak berlarut-larut. Salah satunya mengeluarkan delik-delik untuk tipikor, narkotik, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, dan tindak pidana terorisme.
"
KPK mengingatkan pada semua pihak bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang berakibat sangat buruk terhadap bangsa ini. Sikap dan aturan-aturan yang memperlemah pemberantasan korupsi tentu akan berakibat buruk bagi masa depan bangsa ini," tegasnya.
Menanggapi hal itu,
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengaku, tidak ada upaya untuk melemahkan
KPK dalam
RUU KUHP. Justru, DPR berkomitmen untuk memperkuat seluruh lembaga negara termasuk
KPK dalam pembahasan
RUU KUHP bersama pemerintah.
"Saya juga perlu menegaskan bahwa tidak ada upaya pelemahan kepada
KPK baik dari DPR maupun pemerintah. Kami berkomitmen, semua lembaga-lembaga yang ada harus dikuatkan sesuai tujuan awal lembaga-lembaga tersebut dibentuk dan didirikan termasuk
KPK," kata Bamsoet, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/5).
Bamsoet menegaskan, seluruh masukan yang datang ke DPR selanjutnya akan diteruskan kepada Panja
RUU KUHP yang terdiri dari DPR dan pemerintah untuk membahasnya.
"Keputusan tidak semata-mata prerogatif DPR tapi juga sangat tergantung dinamika dan persetujuan pemerintah. Titik koma saja kita bisa berdebat panjang dengan pemerintah," terangnya.
Sementara, Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan,
KPK tidak mempunyai hak untuk menolak
RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR. Sebab, pada dasarnya
KPK sebagai pelaksana atas UU yang dibuat DPR bersama pemerintah.
Menurutnya, pandangan
KPK terkait penolakan
RUU KUHP tersebut sudah lama dan berkali-kali. Sehingga, pemerintah tak perlu khawatir atas penolakan tersebut.
"Sebetulnya yang penting pemerintahan
Presiden Jokowi punya strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif, maka pandangan
KPK tidak perlu dianggap," kata Fahri.
Sebab, kata Fahri, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi hanya menjalankan UU yang dibuat DPR dengan pemerintah.
"Karena mereka bukan pembuat UU,
KPK itu adalah akibat dari UU, mereka tidak punya hak untuk menolak UU, mereka hanya melaksanakan UU," kata Fahri.
KEYWORD :
RUU KUHP KPK Ketua DPR Presiden Jokowi