Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW)
Jakarta - Sejumlah kalangan menolak beberapa pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) tercantum dalam RUU KUHP. Kritik keras atas penolakan itu telah disuarakan kepada Pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Easter menegaskan, seharusnya pemerintah memikirkan dampak jika RUU KUHP itu resmi disahkan. "Kalau semuanya keberatan, terus siapa yang pakai RUU KUHP tersebut?," tegas Lola, di kantor ICW, Jakarta, Minggu, (3/6/2018).
ICW menilai pasifnya sikap Presiden menanggapi penolakan RUU KUHP dari sejumlah lembaga menunjukkan tidak adanya itikad baik. Bahkan, ICW merasa aneh jika Presiden Jokowi menyetujui masuknya delik Tipikor dalam RUU KUHP tersebut.
"Menurut kami ini aneh, ini menunjukkan tidak ada itikad baik dari pemerintah," kata
ICW sejauh ini tidak melihat adanya kepentingan rakyat dalam penyusunan RUU KUHP tersebut. ICW lantas mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin disuarakan pemerintah khususnya DPR dari RUU KUHP tersebut.
"Yang mau disuarakan dari RUU KUHP itu apa, kepentingan rakyat atau apa?," cetus Lola.
ICW menilai jika RUU KUHP itu disahkan akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya, hilangnya kewenangan KPK dalam menindak perkara korupsi.
KPK Akan Dalami Kewenangan Erick Thohir Terkait Akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP
"Meskipun Pasal 729 RKUHP membuka peluang kewenangan lembaga-lembaga independen tetap berwenang menangani tindak pidana khusus, namun Pasal 723 RKUHP kembali mementahkan kekuatan Pasal 729 RKUHP," ujar Lola.
Selain kewenangan, hukuman pidana denda terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang diatur dalam draft RKUHP pertanggal 8 Maret 2018 lebih rendah dibandingkan UU Tipikor. Itu diperparah dengan pemberlakuan Pasal 63 ayat (2) RKUHP yang menentukan jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif, maka pidananya tidak boleh melampui separuh batas maksimun kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.
"Artinya, penjeraan yang dimaksud untuk dicapai pada UU Tipikor terhadap para terdakwa korupsi, tidak tercapai," tegas Lola.
Jika delik Tipikor dipaksakan masuk draft RUU KUHP, kata Lola, pengadilan Tipikor diprediksi akan mati suri. Sebab, Pasal Undang-undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor menyebut jika Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi.
"Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum, sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor," tutur Lola.
Soal penolakan RUU KUHP, KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi. Selain kepada Jokowi, surat ini juga ternyata dikirimkan ke pihak terkait di antaranya Ketua Panja RUU KUHP DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Surat dikirimkan ke Jokowi dan pihak lainnya secara bertahap yakni pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan terakhir pada 13 Februari 2018.
Dalam surat itu, KPK memohon kepada pemerintah khususnya Jokowi untuk mencabut delik tipikor dalam RUU KUHP tersebut. Jokowi diharapkan bisa melindungi masyarakat dari kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Terpisah, Juru bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan jika surat sengaja dikirim lembaganya agar Presiden Joko Widodo dan instansi terkait memahami adanya risiko pelemahan pemberantasan korupsi pada RUU KUHP tersebut.
"Upaya-upaya melemahkan KPK sudah sering terjadi, dulu revisi UU KPK digagas bahkan dengan pembatasan umur dan kewenangan KPK," kata Febri saat dikonfirmasi.
Lembaga antikorupsi menepis tudingan sejumlah pihak yang menyebut sikap penolakan lembaganya atas RUU KUHP sebagai bentuk pembangkangan birokrasi. Prasangka buruk tentang surat KPK kepada Presiden Joko Widodo dinilai tidak substansial.
Disisi lain, Febri mengakui ada banyak pihak yang merasa terganggu dengan kerja KPK dalam memberantas korupsi di tanah air. Meski demikian, kata Febri, pihaknya percaya Jokowi memiliki itikad baik dan mendukung pemberantasan korupsi di tanah air. Karena itu menjadi hal yang lumrah jika KPK mengirimkan surat kepada Jokowi untuk menimang kembali risiko RUU KUHP tersebut.
"KPK sebagai penegak hukum yang selama ini menjadi instansi yang ditugaskan UU memberantas korupsi tentu wajib menyampaikan jika ada sesuatu yang memiliki resiko melemahkan KPK," ucap dia.
KPK juga meyakini Jokowi tidak dalam posisi ingin melemahkan KPK. Sebab itu, lembaga antikorupsi berharap RUU KUHP tidak menjadi kado yang membahayakan bagi pemberantasan korupsi dan menguntungka para koruptor.
"Tidak sulit bagi Presiden dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal tipikor dari RKUHP tersebut, selanjutnya dapat dibahas lebih lanjut melalui penyusunan revisi UU 31/1999 yang sekarang sedang berlaku," ujar Febri.
KEYWORD :Febri KPK Korupsi