Marlen Sitompul | Senin, 04/06/2018 02:03 WIB
Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago
Jakarta - Polemik terkait rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) tentang larangan mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon anggota legislatif, harus segera diakhiri.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menawarkan solusi jitu dengan jalan tengah, yakni larangan mantan napi kasus korupsi "nyaleg" diserahkan kepada partai politik untuk membuat peraturan syarat jadi caleg.
"Misalnya mantan napi kasus korupsi tidak boleh nyaleg karena tidak akan dipilih rakyat, ketidak percayaan (dis-trust) dan akan gagal mendapatkan dukungan animo kepercayaan masyarakat," kata Pangi, melalui rilisnya, Minggu (3/6).
Termasuk, lanjut Pangi, affirmative action keterwakilan perempuan sebesar 30 persen diatur dalam dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
"Ini diatur bukan dengan peraturan P
KPU namun ada dalam regulasi UU No 10 Tahun 2008," terangnya.
Menurutnya, jika itu dilakukan maka "bola panas" ada pada parpol bukan lagi sama
KPU. Sehingga, lembaga penyelenggara pemilu tersebut tidak perlu berhadapan secara langsung dengan aktor individu caleg dan partai politik.
"Sekarang secara tak langsung, mau tidak mau, suka atau tidak suka,
KPU berhadapan langsung dengan peraturan perundang undangan pemilu dan sekaligus politisi londo ireng yang tidak terima aturan P
KPU melarang mantan napi koruptor nyaleg," terangnya.
Pangi menilai mengatasi polemik tersebut harus dengan pandangan yang jernih dan melihatnya secara komprehensif dengan tinjauan dua sisi yang berbeda.
Di satu sisi menurut dia, berdebat soal HAM terkait hak politik setiap warga negara memilih dan dipilih, kembali ke prinsip "equality before of the law" atau sama di hadapan hukum, siapa pun dia.
"Dia dukung
KPU yang punya itikad baik menyaring orang-orang baik sebelum disajikan menu tersebut ke masyarakat, melalui peraturan P
KPU yakni mantan napi koruptor kehilangan hak dipilih sebagai caleg," katanya.
"Melamar pekerjaan saja butuh SKCK. Bagaimana ceritanya melamar ke partai tertentu ngak ada Negara dan parpol harus bertanggung jawab menyiapkan dan menyajikan menu yang baik yaitu wakil rakyat yang tak mengkhianati konstitusi, itu artinya yang tidak pernah jadi koruptor," tegas Pangi.
Pangi menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang mantan napi kasus korupsi "nyaleg", khususnya Pasal 2.40 Ayat 1 huruf g dinyatakan, "seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana".
"Persepsi awam kita bahwa peraturan P
KPU yang melarang mantan napi berhadapan dengan peraturan perundang undangan. Karena itu tadi UU pemilu tidak melarang, sehingga ada yang punya kesimpulan dan pertanyaan menarik yaitu apakah peraturan P
KPU bertentangan dengan pasal 2.40 ayat 1 huruf g," katanya.
Dia menegaskan P
KPU yang dibuat
KPU harus punya korelasi linear dengan peraturan perundang undangan yang berlaku yaitu undang undang No7 tahun 2017 tentang pemilu.
"Aturan UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu tidak mengatur larangan tersebut, sekali lagi apakah peraturan P
KPU bertentangan secara hirarki dengan UU pemilu itu sendiri?," ujarnya.
KEYWORD :
Pemilu 2019 KPU Verifikasi Parpol Koruptor Nyaleg