Perempuan Rohingya (foto: Google)
Jakarta - Gadis-gadis Rohingya setiap harinya bagai terkurung di tenda mereka di Bangladesh karena takut menghadapi penculikan dan pelecehan seksual jika mereka pergi ke luar.
Sebuah laporan bertajuk "Remaja Putri dalam krisis: Suara Rohingya" yang dirilis oleh organisasi berbasis di Inggris, Plan International, mengungkap hasil wawancara dengan 300 anak perempuan Rohingya dalam dua kelompok usia yakni 10-14 tahun dan 15-19 tahun.
Menurut laporan itu, salah satu masalah terbesar yang dihadapi gadis-gadis Rohingya di kamp adalah kurangnya kebebasan bergerak.
Keluarga tidak ingin para gadis meninggalkan tenda mereka karena takut putri mereka diculik atau dilecehkan secara seksual.
Kelemahan ekonomi dan fisik yang disebabkan oleh krisis juga membuat anak perempuan dan perempuan rentan terhadap masalah seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, pernikahan dini dan perkawinan paksa.
Banyak dari gadis-gadis itu yang menyebut kondisi di kamp pengungsi saat ini bagai membuat mereka "mati lemas".
Keluarga-keluarga tinggal di tenda-tenda dan tempat penampungan yang penuh sesak yang akhirnya memunculkan kekhawatiran keamanan dan beban kerja pada anak perempuan.
Laporan itu juga mengatakan bahwa para gadis merasa lebih aman daripada di Myanmar, tetapi mereka juga merasa dibatasi karena tidak memiliki akses ke pendidikan dan tidak dapat mengembangkan keterampilan apa pun.
Sementara gadis-gadis Rohingya dari segala usia masih tertarik untuk pergi ke sekolah, akses pendidikan bagi Muslim Rohingya di Myanmar malah terhambat.
"Karena kurangnya kesempatan pendidikan, masalah bahasa, masalah keamanan, pekerjaan rumah tangga dan kurangnya penghargaan terhadap pendidikan anak perempuan, gadis-gadis Rohingya juga dicegah pergi ke sekolah di Bangladesh." (AA)
KEYWORD :Rohingya Pengungsi Pemerkosaan