Marlen Sitompul | Kamis, 28/06/2018 17:50 WIB
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap warga negara sebagaimana diatur dalam UU MD3. Pembatalan itu berdasarkan putusan MK dalam gugatan uji materiil terkait UU MD3.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua
DPR Fahri Hamzah mengatakan, keputusan tersebut menunjukkan bahwa
MK masih menganggap sistem yang dianut UUD 1945 adalah "executive heavy" yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional.
"Keputusan ini meyakinkan saya bahwa
MK masih menganggap bahwa UUD 1945 kita itu masih “executive heavy”," kata Fahri, di Gedung
DPR, Jakarta, Kamis (28/6).
Padahal, kata Fahri, sejak amandemen ke-4 UUD 1945, konstitusi telah bergeser dari falsafah "concentration of power upon the president" menjadi "check and balances".
"Kita Sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan," tegas Fahri.
Semestinya, kata Fahri, legislatif diberikan kekuatan pengawasan dengan segala konsekwensinya. "Maka, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekwensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi," terangnya.
Diketahui,
MK membatalkan kewenangan pemanggilan paksa
DPR yang digugat adalah sebagaimana dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayah (6)
UU MD3 Tahun 2018.
Dalam pasal-pasal itu disebutkan bahwa
DPR berhak memanggil paksa pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat untuk hadir dalam rapat bila sudah 3 kali dipanggil tidak hadir. Kewenangan pemanggilan paksa itu bisa digunakan
DPR dengan melalui Polri.
"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua
MK Anwar Usman, membacakan putusan tersebut, Kamis (28/6).
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa kewenangan pemanggilan paksa merupakan bagian dari proses hukum. Adapun
DPR tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa.
Selain itu, pasal tersebut menyebutkan bahwa para pihak tersebut dipanggil paksa bila tidak hadir dalam rapat
DPR. Sementara tidak ada penjelasan lebih lanjut rapat apa yang dimaksud.
Menurut majelis, kewenangan itu bertentangan dengan fungsi yang dimiliki oleh
DPR. Lantaran
DPR adalah lembaga politik, bukan lembaga penegak hukum.
"Polisi baru berwenang memanggil paksa seseorang untuk diminta keterangan menjadi saksi atau tersangka ketika telah mendapatkan laporan dugaan tindak pidana, dan pemanggilan itu harus melalui beberapa tahapan," bunyi pertimbangan hakim.
KEYWORD :
MK UU MD3 DPR