Mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono usai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: Rangga Tranggana/jurnas.com)
Jakarta - Mantan Menteri Keuangan, Boediono tak jika mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung pernah mengusulkan agar kewajiban Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dilakukan penghapusbukuan (write off) sebesar Rp 2,8 triliun. Namun, kata Boedino, Syafruddin tidak pernah menjelaskan landasan hukum atas usulannya tersebut.
Demikian disampaikan Boediono saat bersaksi untuk terdakwa Syafruddin, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018). Utang itu sendiri terdapat pada pinjaman petambak udang kepada BDNI. Seingat Boediono, penjelasan Syafruddin memberikan kesan bahwa tidak ada masalah misrepresentasi dalam utang BDNI."Kesan kami, dianggap tidak ada masalah, misrepresentasi itu kami tidak mengetahui," ucap Boediono.Namun, kata jaksa KPK, Syafruddin pada kenyataannya tetap melakukan penghapusbukuan utang. Syafruddin mengklaim bahwa tindakannya itu atas persetujuan rapat di Istana Negara.
Syafruddin dalam perkara ini didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim telah merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun lantaran menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul selaku pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004 lalu. Syafruddin diduga telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI. Padahal, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak yang akan diserahkan kepada BPPN. KEYWORD :
Boediono BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung