Mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono usai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: Rangga Tranggana/jurnas.com)
Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) 2001-2004 Boediono menyebut pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BDNI telah sesuai prosedur. Pasalnya, beberapa syarat sudah terpenuhi.
Demikian disampaikan mantan Wakil Presiden itu saat bersaksi untuk terdakwa mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Boediono dalam persidangan mengungkapkan bahwa KKSK dan BPPN sempat menggelar rapat soal pemberian SKL bagi Sjamsul Nursalim atau
BDNI. Komite KKSK menyetujui bahwa telah memenuhi beberapa syarat di antaranya dari sisi finansial dengan adanya audit due diligence, FGD, dan lainnya serta dari sisi hukum.
"Dari sisi hukum, clearance tim hukum dan bahkan kalau tidak salah laporan yang disampaikan ada audit BPK disampaikan dalam rapat komite dan diusulkan ke BPPN untuk diberikan SKL," ujar
Boediono.
Merujuk hal itu, Komite KKSK menilai semuanya telah terpenuhi. "Komite melihat syarat-syarat aspek finansial dan hukum dipenuhi. Saya sebagai salah satu KKSK yang tidak keberatan memang syarat-syarat ini terpenuhi karena BPPN punya kewenangan terbitkan SKL," ungkap
Boediono.
Menurut
Boediono dirinya hanya melihat surat tembusan kepada anggota KKSK dan instansi lainnya. Hal itu diungkapkan Boedino saat dikonfirmasi jaksa penuntut umum apakah kemudian diterbitkan SKL bagi yang bersangkutan. "Mengenai hal ini ditandatangani kepala BPPN," imbuh dia.
Saat tim kuasa hukum menyoal tentang surat 117/MK06,
Boediono selaku Menko Perekonomian menanggapi hasil audit BPK tahun 2006. Di mana BPK menyampaikan 12 audit. Itu diakui
Boediono. Namun, kata
Boediono, dirinya tak memiliki salinan surat itu. Sementara soal audit, sambung Boedino, itu diberikan kepada Menkeu.
Kuasa hukum terdakwa Syafruddin, Ahmad Yani kemudian membacakan audit BPK tahun 2006 yang intinya, BPK berpendapat bahwa SKL itu layak diberikan kepada pemegang saham
BDNI karena sudah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Inpres 28/2002.
Selaku Menko Perekonomian saat itu,
Boediono mengaku tidak menerima laporan BPK tersebut.
Boediono mengaku hanya memberikan pengantar saat menghadapi hak interplasi di DPR soal masalah ini pada tahun 2008.
"Detailnya angka-angka Menkeu yang sampaikan," tutur dia.
Kemudian Yani mengkonfirmasi apakah DPR saat itu tidak meningkatkan masalah ini ke hak angket atau hak menyampaikan pendapat. "Seingat saya sampai interplasi dan DPR sampaikan sikap," jawab
Boediono.
Boedino merespon diplomatis saat ditanya tentang laporan saksi bahwa permasalahan SKL ini sudah final, sehingga DPR tidak menggunakan instrumen lebih tinggi.
"Ya selama itu tertulis, kami menerima itu. Ya itu pandangan DPR. Pandangan DPR disampaikan ke pemerintah tentu akan diproses pemerintah, saya sendiri tidak proses ini. Ditindaklanjuti atau tidak, saya tidak tahu karena ini mungkin masuk birokrasi di pemerintah," kata dia.
Yani juga mempertanyakan tentang lampiran 4 poin 2 laporan akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR pada bulan Februari 2008. Di mana dalam laporan itu tertulis
BDNI atau Sjamsul Nursalim selesai.
Menurut
Boediono, Menkeu saat itu mengetahui. Sri Mulyani diketahi menjabat sebagai Menkeu saat itu.
"Saya hanya beri pengantar, tentu menkeu yang tahu," kata
Boediono.
Adapun petikan keterangan yang disampaikan pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR tersebut berisi, "Pemerintah terus menegakkan hukum dan keadilan dalam upaya mengembalikan kewajiban obligor. Pemerintah konsisten melaksanakan dan mempertegas kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan, termasuk pelaksanaan Inpres 8/2002," ujarnya.
"yaitu pemberian kepastian hukum bagi obligor yang kooperatif. Dalam hal ini debitor juga dibebaskan dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program PKPS. Seluruh proses penyelidikan, penindakan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum dihentikan".
Selain
Boediono, jaksa juga menghadirkan Todung Mulya Lubis selaku Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK sebagai saksi untuk terdakwa Syafruddin. Dalam kesaksiannya, Todung menerangkan jika TBH KKSK tidak pernah merekomendasikan bahwa hutang petambak harus ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham (PS)
BDNI.
Menurut Todung, TBH hanya membuat laporan yang bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk KKSK dalam mengambil keputusan. "Kami sebagai TBH hanya sampaikan pendapat hukum dan sampaikan laporan," kata Todung saat bersaksi.
Todung sendiri tak menampik keterangan dalam BAP-nya. Di mana disebutkan selaku TBH pernah menyarankan kepada KKSK jika Sjamsul Nursalim tidak kooperatif, maka pemerintah dalam hal ini BPPN bisa menempuh gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan pailit di pengadilan niaga, serta upaya hukum penyerahan penaguhan hutang dan seterusnya yang masuk ranah perdata bukan pidana.
Terdakwa Syafruddin ketika Dikonfirmasi media usai sidang, Syafruddin menerangkan jika Sjamsul Nursalim belum sepenuhnya menyelesaikan kewajibannya membayar kekurangan Rp 428 miliar dan penyerahan 12 perusahaan, termasuk Dipasena. Akan tetapi, kata Syafruddin, persoalan tersebut dapat diselesaikan saat dia menjabat sebagai Ketua BPPN.
Merspon pernyataan Syafruddin, Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim (SN), Otto Hasibuan mengkoreksi pernyataan Syafruddin itu. Dikatakan Otto, kliennya telah menyelesaikan seluruh kewajibannya pada tanggal 25 Mei 1999, sehingga pemerintah pada saat itu memberikan release and discharge yang diperkuat dengan akta notaris Letter of Statement.
"Penyelesaian kewajiban SN pada tanggal 25 Mei 1999 telah dikonfirmasi dalam Laporan Audit BPK tahun 2002," kata Otto saat dikonfirmasi secara terpisah.
"Adapun pembayaran senilai Rp 428 miliar yang dilakukan SN pada masa SAT menjadi Ketua BPPN adalah dalam rangka penukaran atas deposito group yang sebelumnya telah diterima dan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran Rp 1 trilIun.
Sementara penguasaan pihak SN atas kepemilikan perusahan-perusahaan yang telah diserahkan pada tanggal 25 Mei 1999 kepada BPPN melalui TSI adalah didasarkan atas Perjanjian Pengurusan Perusahaan Akuisisi tertanggal 25 Mei 1999, dimana pihak SN ditunjuk melakukan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut untuk kepentingan BPPN," ditambahkan Otto.
KEYWORD :
BDNI Boediono KPK Hakim Tipikor