Ilsutrasi siswa belajar (Foto: People`daily)
Jakarta – Sistem zonasi yang telah diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) selama dua tahun terakhir terus menuai kritik. Jurnalis sekaligus pegiat media sosial Cania Citta Irlanie memandang, salah satu dampak sistem tersebut berpotensi membuat anak cerdas cepat merasa jenuh di sekolah.
“Kalau anak-anak yang relatif cepat digabung dengan yang agak lambat, kecenderungan yang terjadi adalah anak yang cepat menjadi jenuh, karena kurang tantangan,” kata Cania lewat akun Twitternya, pada Jumat (20/7) malam.
Sebaliknya, lanjut Cania, anak-anak yang proses belajarnya lambat akan merasa putus asa, karena merasa jauh tertinggal dari teman-temannya yang mampu belajar cepat.
Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini menilai pemerataan kualitas sekolah seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah sebelum menerapkan sistem zonasi. Menurutnya, anak-anak cerdas yang sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai bagus, harus bersekolah di sekolah yang biasa-biasa saja, hanya karena tinggal di zona tersebut.
Cania melanjutkan, jika tujuan diterapkannya sistem zonasi ialah untuk meningkatkan kualitas siswa melalui pembauran siswa cerdas dengan yang kurang dibarengi dengan metode personalized learning track, maka hal itu tidak menjadi soal.
Namun, permasalahannya sekolah memberikan metode pengajaran yang sama, baik kepada siswa pintar maupun kurang.
“Metode pengajaran yang baik bukan yang memperlakukan semua anak dengan sama. Tiap anak harus dikasih ruang berlari sesuai kecepatannya,” ujar Cania.
Dan yang harus dipertimbangkan juga bukan hanya perbedaan tingkat kecerdasan kognitif. Cania mengatakan, sekolah harus memahami jenis bidang yang menjadi bakat anak, guna mengeluarkan potensi optimal para siswa didik.
“Jangan sampai kita malah terobsesi menerapkan similar treatment dalam pendidikan. Hasilnya akan kontraproduktif dan bisa bikin anak-anak depresi!” tegasnya.
KEYWORD :Pendidikan Zonasi Kemdikbud