Sabtu, 23/11/2024 07:17 WIB

KPAI Sanksi Pemilik Industri Hiburan Pekerjakan Anak di Bawah Umur

Terdapat laporan kasus eksploitasi anak yang dijadikan sebagai pemandu lagu di karaoke di Nabire

Ilustrasi Anak Kecil

Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta para pemilik industri hiburan yang bergerak dalam bidang karaoke di Indonesia untuk tidak mempekerjakan anak di bawah 18 tah.

Hal itu guna menghindari anak-anak terbebas dari eksploitasi seksual dan pengaruh buruk situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan tumbuh kembangnya.

Demikian disampaikan, menyusul temuan adanya jaringan perdagangan anak di Papua.

Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah, mengungkapkan temuan tiga kasus anak terindikasi korban perdagangan orang untuk tujuan Papua dalam enam bulan terakhir.

Dalam keterangan tertulisnya, Ai menuturkan kasus pertama datang dari seorang anak perempuan dari Bekasi yang dipekerjakan sebagai pemandu lagu (PL) karaoke di Nabire. Nahas, anak tersebut juga mengalami eksploitasi seksual selagi bekerja sebagai PL.

Pada kasus kedua, KPAI menerima laporan dari Kabupaten Pringsewu, Sumatera Selatan. Seorang anak dipekerjakan ke Papua, namun belum terlacak hingga kini.

"Kemudian ada dua remaja asal Kabupaten Malang yang juga dipekerjakan di sebuah karaoke sebagai PL, yang akan dieksploitasi secara seksual, namun berhasil melarikan diri ke Polres Boven Digul Papua hingga akhirnya diantar pulang ke Malang," ujar Ai.

Menurut Ai, dalam catatan Kementrian PP&PA pada tahun lalu, Papua memang sudah masuk dalam peta jaringan penerimaan perdagangan orang, selain wilayah Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan NTB.

Dari hasil pengawasan di Malang, KPAI menemukan modus penjualan anak-anak ke Papua. Pertama, kata Ai, pelaku menyasar anak-anak yang bermasalah di dalam keluarga.

"Seorang korban berusia 14 tahun merupakan anak pekerja migran yang putus sekolah saat kelas 2 SMP. Pelaku membujuk dan memaksa, serta menyiapkan KTP orang lain untuk dipinjamkan kepada korban untuk mengelabui petugas Bandara," tutur Ai.

Fakta lain, korban diajak suntik kontrasepsi yang diinfokan sebagai tindakan preventif. Pada akhirnya, perjanjian utang piutang terjadi untuk memberi ongkos dan tempat tinggal.

"Kedua, jenis pekerjaan yang menjadi PL, pada faktanya korban bukan hanya menjadi PL namun juga harus mengikuti melayani tamu laki-laki, berpakaian minim, ikut minum-minuman keras, bahkan mengkonsumsi obat terlarang," sebut dia.

Terakhir, KPAI menemukan informasi bahwa pelaku bukan hanya berperan sebagai perekrut, namun juga pemilik usaha karaoke. "Sehingga butuh pengembangan dari aparat apakah perdagangan anak ini sudah sering dilakoninya," kata Ai.

Dari tahun 2011 sampai tahun 2018, jumlah pelaporan kasus trafficking dan eksploitasi di KPAI terus naik hingga 1956 kasus. Dalam menyikapi kasus perdagangan anak ke Papua ini, KPAI meminta polisi memeriksa pelaku terkait kepemilikan tempat hiburan.

"Sebab dia sangat potensial melakukan hal serupa selama bertahun-tahun dan memakan korban yang sangat banyak," tukas Ai.

Pada proses hukum, KPAI memberikan masukan agar pelaku dikenakan pasal dalam Undang-undang No 21/2007 tentang PTPPO dan UU No 35/2014 tentang Perlindungan anak, dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun. (aa)

 

KEYWORD :

KPAI Ai Maryati Solihah Papuajkk




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :