Korupsi BLBI
Jakarta - Mantan Kepala Divisi Aset Manajemen Investasi (AMI) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Ary Zulfikar mengatakan, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim (SN), mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lantaran sudah memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan yang tertera dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Bahkan, nilai aset yang diserahkan Nursalim berdasarkan Ernst & Young (EY) disebut lebih tinggi.
Hal itu terungkap saat Ary bersaksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pemberian SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/8/2018). Kesaksian Ary itu disampaikan setelah Hasbullah, pengacara terdakwa Syafruddin mengonfirmasi poin a hasil rapat di KKSK tanggal 17 Maret 2004.Intinya, sesuai laporan tertulis dan lisan BPPN yang disertai lampiran serta audit BPK tahun 2002, laporan kajian sekretariat KKSK, masukan tim Pengarah Bantuan Hukum (PBH) KKSK menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian pemegang saham dengan BPPN.
Diterangkan Ary, berdasarkan pendapat hukum konsultan hukum LGS yang ditunjuk KKSK, MSAA adalah sah dan mengikat menurut hukum dan berlaku sebagai undang-undang terhadap para pihak dari MSAA. Adapun pihak dalam MSAA adalah Pemerintah yang dalam hal ini diwakili BPPN dan Sjamsul Nursalim (SN).
Dalam persidangan, Ari menjelaskan bahwa berdasarkan Audit BPK tahun 2002 diketahui nilai perusahaan Dipasena Group yang diusulkan konsultan keuangan Nursalim adalah sebesar Rp 31,83 triliun. Setelah dinilai dan dinegosiasikan team Konsultan Keuangan BPPN, disepakati nilai sebesar Rp 19,961 triliun. Selain itu Nursalim telah mengungkapkan kepada BPPN bahwa Dipasena menjamin hutang petambak kepada BDNI sebagaimana tercantum dalam MSAA. BPPN era Glen Yusuf selaku Ketua BPPN tetap menerima penyerahan grup Dipasena senilai Rp 19,961 triliun meskipun telah diungkapkan oleh Nursalim adanya penjaminan yang diberikan oleh Dipasena.Dijelaskan Ary, Ernst & Young (EY) ditunjuk untuk melakukan Finansial Due Diligence atas aset-aset perusahaan yang diserahkan Nursalim kepada BPPN dan memeriksa apakah terjadi misrepresentasi. Berdasarkan Laporan EY pada tahun 2003, tidak ada misrepresentasi. Adapun nilai ke-12 perusahaan yang diserahkan kepada BPPN lebih besar USD 1,3 juta daripada nilai penyerahan awalnya sebesar Rp 27,4 triliun. Sementara nilai perusahaan-perusahaan dalam group Dipasena yang pada waktu penyerahan kepada BPPN pada bulan Mei 1999 dinilai sebesar Rp 19,961 triliun, ternyata berdasarkan perhitungan EY nilainya lebih tinggi, yaitu Rp 20,23 triliun. Perhitungan itu dengan menggunakan parameter perhitungan yang sama dengan yang dilakukan pada tahun 1999.Dikatakan Ary, prosedur penilaian tersebut adalah sama dengan yang dilakukan pada tahun 1999 berdasarkan Agreed Upon Procedure. Itu disampaikan Ary setelah sebelumnya dikonfirmasi JPU apakah saksi tahu penilaian yang dilakukan EY adalah berdasarkan Agreed Upon Procedure.Jaksa juga mengkonfirmasi Ary mengenai hutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun yang diserahkan Nursalim kepada BPPN. Menurut Ary, Nursalim tak pernah menyerahkan hutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun kepada BPPN. Hutang petambak itu merupakan aset BDNI yang di-take over oleh BPPN, dan itu di luar MSAA yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam MSAA yang diatur adalah penyerahan aset berupa perusahaan-perusahaan oleh Nursalim kepada BPPN. MSAA juga tidak berisikan pernyataan Nursalim yang menjamin bahwa hutang petambak adalah kredit lancar. Pernyataan jaminan (representations and warranties) yang diberikan Nursalim adalah terkait aset-aset perusahaan yang diserahkan. KEYWORD :
BLBI Syamsul Nursalim Perbankan