Marlen Sitompul | Jum'at, 24/08/2018 22:56 WIB
Syafruddin Arsyad Temenggung
Jakarta - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menyebut kerugian negara atas menyusutnya aset kredit petani tambak terjadi ketika penjualan aset pada tahun 2007.
Hal itu disampaikan SAT saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (24/8).
Menurutnya, aset kredit petambak adalah aset yang dimiliki oleh Bank BDNI yang diambil alih oleh BPPN berdasarkan penyerahan dari Bank Indonesia kepada BPPN sebagai Bank Dalam Penyehatan.
"Pada saat BPPN bubar tanggal 27 Februari 2004, BPPN menyerahkan kepada Menteri Keuangan berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triiun," kata SAT.
Dimana, lanjut SAT, pada tanggal 21 Mei 2007, Menteri Keuangan telah menetapkan harga dasar utang Petambak sebesar Rp 220 miliar, yang kemudian aset utang petambak dijual oleh PT PPA pada tanggal 23 Mei 2007 dengan nilai yang sama dengan harga dasar, yaitu Rp 220 miliar.
Ia juga mengungkapkan, proses hapus buku dan hapus tagih pada BPPN didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 26 dan Pasal 53 PP 17, yang merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 37A Undang-undang Perbankan.
Dalam fakta sidang sebelumnya, bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan bahwa penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusanbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.
Ia menegaskan, tak pernah mengusulkan dan menyetujui restrukturisasi utang petambak PT DCD. Sebab saat itu dia hanya menjabat sebagai sekretaris di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
"Sekretaris KKSK bertugas menyiapkan bahan-bahan yang berasal dari BPPN atau lain-lain, mengenai masalah-masalah perbankan. Kita siapkan materi untuk pengambilan keputusan KKSK," ungkapnya.
Kata SAT, sekretaris KKSK tak dilibatkan dalam penanganan utang petani petambak PT Dipasena di Lampung. Sekretaris KKSK hanya bertanggung jawab pada pembuatan draft hasil keputusan rapat.
SAT juga mengungkapkan bahwa pernyataan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menagihkan utang petambak ke MSAA BDNI.
Menurutnya, utang petambak bukan kewajiban
Sjamsul Nursalim dalam MSAA BDNI. Utang petambak tidak pernah dinyatakan lancar dan dijamin oleh
Sjamsul Nursalim dalam MSAA-BDNI dan pemberian SKL telah melalui rangkaian pembahasan dalam KKSK dan didasarkan pada KKSK tanggal 17 Maret 2004 dan Inpres No. 8 Tahun 2002.
Berdasarkan fakta persidangan sebelumnya, Mantan Deputi BPPN, Taufik Mappaenre menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham BDNI,
Sjamsul Nursalim lantaran tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA.
Menurut Taufik dalam kesaksiannya pada persidangan (16/7/2018), yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) adalah akuntan publik Ernts & Young.
Menurut SAT, berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004, KKSK telah menyetujui nilai hutang 11 ribu petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp 1,1 triliun, sedangkan nilai aset jaminan tetap.
Utang Petambak kepada BDNI tersebut dijamin oleh lahan 0,6 hektare per petambak. Kisaran harga lahan di lokasi Dipasena petambak berdasarkan akta jual beli notaris Juli 2018 antara Rp 120 ribu m2 sampai Rp 180 ribu m2.
Menurut SAT, jika lahan tambak yang merupakan jaminan hutang petambak kepada BDNI masih dikuasai oleh Pemerintah dan dijual pada tahun 2018, maka nilai aset jaminan atas utang petambak sebesar Rp 3,1 triliun sampai dengan Rp 7,3 triliun. Dengan demikian, jelas kerugian negara atas utang petambak terjadi karena penjualan di tahun 2007.
KEYWORD :
Kasus BLBI KPK Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim