Minggu, 24/11/2024 02:08 WIB

Lapas Setnov di Sukamiskin Potret Buram Penegakkan Hukum

Temuan sel mewah milik mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di Lapas Sukamiskin dinilai sebagai bentuk potret buram penegakkan hukum di tanah air.

Ketua DPR, Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP

Jakarta - Temuan sel mewah milik mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di Lapas Sukamiskin dinilai sebagai bentuk potret buram penegakkan hukum di tanah air.

Direktur Eksekutif Study Club For Rar Againts Corruprion, Rich Ilman Bimantika, ketika dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Kamis (20/9). Menurutnya, sistem penegakkan hukum di Indonesia belum mampu memberikan efek jera kepada para koruptor.

"Apa yang terjadi di Lapas Sukamiskin sudah menjadi potret buram dan membuktikan hukum belum bisa berdiri tegak," kata Ilham.

Meski sudah divonis penjara, kata Ilham, hampir sebagian besar napi korupsi bahkan mampu membeli fasilitas di dalam Lapas. Untuk itu, ia meminta KPK dan Kemenkumham harus menerapkan pasal TPPU kepada tersangka korupsi.

"Tujuannya, agar negara bisa menyita seluruh aset yang dimiliki narapidana korupsi. Beberapa kasus, penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi itu lambat. Ada yang satu tahun sesudah berjalan masa hukuman, baru bisa diambil," terangnya.

Menurutnya, upaya penyitaan aset koruptor akan membuat para narapidana kasus korupsi tidak bisa berbuat banyak. Termasuk upaya untuk membeli berbagai fasilitas di dalam Lapas, seperti yang selama ini terjadi.

"Padahal, aset narapidana harus bisa segera diambil untuk mencegah masalah-masalah selanjutnya," tegasnya.

Namun demikian, lanjut Ilham, masih ada banyak hambatan yang ditemui penegak hukum ketika menerapkan pasal TPPU. Selain pembuktian yang sulit, aset narapidana yang diambil negara juga terkesan sangat lambat.

Dirinya mencontohkan bagaimana seorang narapidana kasus korupsi masih dapat membeli fasilitas yang ada di dalam Lapas. Dalam inspeksi mendadak Ombudsman, mantan Ketua DPR Setnov masih menghuni sel mewah.

"Pergantian mencopot Kalapas ternyata tidak berdampak signifikan, apalagi terus membludaknya tahanan narapidana korupsi," ucapnya.

Sementara itu Pengamat Politik, Karyono Wibowo mengatakan bahwa ada banyak penyebab masih maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat negara. Diantaranya adalah faktor moral, tingginya biaya politik dan kebiasaan atau budaya masyarakat.

"Kalau hanya mengandalkan sistem penindakan, ujungnya malah korupsi lagi. Yang menjadi hulunya adalah pertama soal masalah moral para penyelenggara negara," kata Karyono.

Menurutnya, antara political cost atau biaya politik memiliki korelasi atau sangat berhubungan dengan tingginya angka korupsi di Indonesia. Banyak pejabat negara, terutama yang berlatarbelakang tokoh politik terjerat kasus korupsi.

"Mulai dari calon kepala daerah, calon legislatif butuh biaya politik untuk lolos. Bahkan, untuk menjadi ketua umum partai juga menghabiskan banyak biaya politik," ucapnya.

KEYWORD :

Kasus e-KTP Setya Novanto KPK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :