Sabtu, 23/11/2024 07:02 WIB

KASASI DI MA

Sengketa KBN Vs KCN Ganggu Iklim Investasi

Sengketa antara PT KBN melawan anak usahanya, PT KCN belum juga berakhir. PT KCN melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menerima gugatan KBN.

Ilustrasi Hukum

Jakarta - Sengketa antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) melawan anak usahanya, PT Karya Citra Nusantara (KCN) belum juga berakhir. PT KCN melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menerima gugatan KBN.

Kuasa hukum KCN, Juniver Girsang menyebut, jika kasasi kliennya tidak diterima, dampaknya akan sangat terasa bagi dunia investasi. Investor enggan menanamkan modalnya lantaran tak ada kepastian hukum di Indonesia

"Kalau ini terjadi saya katakan, tidak ada kepastian hukum di negara ini untuk berinvestasi," kata Juniver saat menggelar konferensi pers yang didampingi Direktur Utama KCN, Widodo Setiadi.

Juniver menjelaskan duduk perkara sengketa ini terjadi. Sengketa ini bermula di tahun 2004, ketika KBN mengiklankan tender pengembangan kawasan C01 Marunda. PT Karya Tekhnik Utama (KTU) mendaftar dan kemudian keluar sebagai pemenang tender.

Kemenangan KTU itu disahkan lewat SK Direksi KBN, dengan No.06/SKD-PL/Dirut/2004 Tentang Penunjukkan KTU sebagai mitra bisnis pengembangan kepelabuhanan Lahan C-1. Pada 2005, KBN yang melakukan tender bersama KTU menandatangani perjanjian kerjasama untuk membentuk perusahaan patungan KCN. Pendirian anak usaha itupun disetujui Menteri BUMN dan Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang saham KBN.

Dalam perjanjian itu, KTU berkewajiban menyediakan sumber dana dan pembangunan Pelabuhan Marunda, mulai dari Pier I, II dan III sepanjang 5.350 meter ditambah area pendukung seluas 100 ha. Sedangkan KBN berkewajiban melengkapi perizinan, menyediakan akses jalan dan goodwill berupa garis pantai sepanjang 1.700 meter dari cakung drain hingga sungai Blencong.

Atas dasar pembangunan yang menelan modal swasta itu, komposisi saham KCN dipegang KTU sebesar 85% dan KBN sebesar 15%, namun untuk saham KBN sebesar 15% di dalam perjanjian itu memuat ketentuan saham KBN tidak akan terdelusi jika terjadi penambahan investasi KTU kepada KCN.

"Dengan komposisi itu, investor menanggung semua biaya, tidak ada sepeser pun KBN mengeluarkan dana. Artinya tidak ada APBN, APBD atau uang negara yang keluar," beber Juniver.

Setelah 7 tahun berjalan, masalah muncul pada November 2012, tepatnya, saat direksi KBN diganti. Posisi Direktur Utama KBN, dipegang Sattar Taba. KBN, meminta revisi komposisi saham pada Desember 2012. Disepakati, komposisi saham menjadi 50:50.

"KCN menyampaikan bahwa perjanjiannya tidak demikian, ini supaya kelanjutan proyek jangan terganggu," beber Juniver.

Namun, KBN tak terima dengan usulan itu. Mereka melakukan pemblokiran akses menuju area pembangunan selama empat bulan. Padahal, saat itu KCN telah merampungkan hampir seluruh dermaga Pier I dan setengah Pier II.

"Gerbang KCN dihalangi, ditutupi mobil pemadam kebakaran. Bahkan keluar surat pemberhentian operasi,” imbuhnya.

Aksi sepihak KBN pada 2013 itu akhirnya memaksa KTU untuk menyetujui Addendum III yang berisikan kepemilikan saham KBN dan KTU di KCN masing-masing 50%.

Tapi, addendum III itu mensyaratkan, untuk mendapat porsi 50% saham KCN, KBN harus melengkapi syarat penambahan modal dengan tenggat waktu yaitu 15 bulan. "Ternyata sampai batas waktunya, KBN tidak sanggup memenuhi penyetoran modal," tutur Juniver.

Rupanya, KBN tidak mendapatkan dana lantaran tidak ada izin dari Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta. Setelah wanprestasi itu, pada Desember 2015, KBN dan KTU bersepakat untuk kembali kepada perjanjian awal, yakni kepemilikan saham KTU 85% dan KBN 15% di KCN, termasuk pengembalian setengah dermaga Pier II dan Pier III.

Namun, KBN justru melayangkan gugatan hukum kepada KCN. "KCN diganggu lagi oleh KBN, dengan menyatakan perjanjian yang sudah dibuat ada cacat hukum. Padahal Menhub yang beri persetujuan," sesal Juniver.

Menhub, yang merupakan pengawas operasional KBN, juga ikut digugat. Selain itu, KBN juga menggugat PT KTU. "Ini sudah ditandatangani dengan menteri, kok malah minta dibatalkan. Bahasa nggak enaknya, perintah dari bapak, dibatalkan oleh anak," Juniver menganalogikan.

"Bisa ya badan usaha menggugat atasannya, membatalkan perjanjian, dan itu terjadi di negeri kita," keluhnya.

Kejanggalan pun terlihat dalam proses hukum gugatan KBN itu. Tak sampai 6 bulan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan PT KBN atas perjanjian konsesi atas KCN dan PT KTU.

Yang tidak masuk akal, KBN menuntut KCN membayar kerugian secara materiil sebesar lebih dari Rp 773 miliar. Padahal, menurut Juniver, investor telah menanamkan modal Rp 3,4 triliun dari total rencana Rp 5 triliun.

Namun, Januari lalu Pengadilan Tinggi menguatkan putusan PN Jakut. "Putusan ini nggak sampai 2 bulan sejak banding masuk," beber Juniver.

Kejanggalan lain, KCN sudah menempuh berbagai upaya, termasuk mediasi dan mengadukan ke instansi terkait. Pokja IV Satgas Percepatan dan Efektivitas Kebijakan Ekonomi pernah mengundang KBN, namun mereka tidak datang.

"Ini kok sulit amat. What happen? Apalagi upaya yang bisa kita lakukan? Sampai saat ini belum ada kepastian," tanya Juniver.

Juniver tak mau menuding siapa yang bermain di belakang ini. Dia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan menyelesaikan sengketa ini. Sebab, sengketa ini berpotensi menggagalkan visi Presiden Jokowi, Nawacita.

"Harapan kami bapak presiden bisa mencermati masalah ini. Bisa melihat ke lokasi dan kami setuju presiden bisa agar terlaksana pembangunan ini untuk kepentingan bangsa. Kami harap pak Presiden turun tangan menyelesaikannya," pintanya.

KEYWORD :

Kasasi ke MA Iklim Investasi Kasus Hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :