Marlen Sitompul | Selasa, 21/05/2019 16:25 WIB
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang (tengah) saat penetapan tersangka pejabat Bea dan Cukai dan KKP
Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kapal patroli di Ditjen Bea dan Cukai dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Wakil Ketua
KPK Saut Situmorang mengatakan, dugaan korupsi pengadaan 16 kapal patroli cepat (Fast Patrol Boat/FCB) di Ditjen Bea dan Cukai, Direktur Utama PT Daya Radar Utama (PT DRU), Amir Gunawan ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) Istadi Prahastanto dan Ketua Panitia Lelang Heru Sumarwanto.
"Dugaan kerugian negara dalam perkara ini adalah Rp117.736.941.127," kata Saut, dalam konferensi pers di Gedung
KPK, Jakarta, Senin (21/5).
Dalam kasus ini, Istadi selaku pejabat pembuat komitmen menggunakan metode pelelangan terbatas untuk kapal cepat 28 meter dan 60 meter, dan pelelangan umum untuk kapal patrol 38 meter. Anggaran untuk proyek tahun jamak 2013-2015 ini sebesar Rp1,12 triliun.
Istandi diduga mengarahkan panitia lelang untuk tidak memilih perusahaan tertentu, melainkan PT DRU. Diduga terjadi sejumlah perbuatan melawan hukum pada proses pengadaan hingga pelaksanaan pekerjaan.
Bahkan, setelah dilakukan uji coba kecepata, 16 kapal patroli cepat tersebut tidak dapat mencapai kecepatan sesuai ketentuan dan tidak memenuhi sertifikasi dual-class seperti yang dipersyaratkan di kontrak. Meski tidak sesuai, pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti dengan pembayaran.
"Selama proses pengadaan diduga IPR sebagai PPK dan kawan-kawan menerima 7.000 Euro sebagai sale agent mesin yanh dipakai oleh 16 kapal patroli cepat," kata Saut.
Kemudian pada perkara kedua yakni dugaan korupsi pengadaan 4 unit kapal 60 meter untuk sistem kapal inspeksi perikanan (SKIPI) pada Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Amir ditetapkan sebagai tersangka bersama Aris Rustandi selaku PPK. Kerugian negara dari kasus ini mencapai RpRp61.540.127.782.
Pada Januari 2013, Aris selaku PPK dan pihak PT DRU menandatangani kontrak pekerjaan pembangunan SKIPSI tahap I dengan nilai kontrak USD58.307.789. Setelah melakukan penandatangan kontrak, pada Februari 2015, Aris dan tim teknis melakukan kegiatan Factory Acceptance Test (FAT) ke Jerman.
"Untuk kegiatan ini PPK dan tim teknis diduga menerima fasilitas dari PT DRU sebesar Rp300.000.000.
Selanjutnya, pada April 2016, Aris melakukan serah terima 4 kapal SKIPI bernama Orca 01 sampai dengan Orca 04 dengan berita acara ditandatangani AMG yang menyatakan kapal pembangunan kapal SKIPI telah selesai 100 persen. Aris kemudian membayar seluruh termin pembayaran kepada PT DRU senilai USD58.307.788 atau setara Rp744.089.959.059.
Padahal, diduga biaya pembangunan 4 unit kapal SKIPI hanya Rp446.267.570.055. Diduga terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan, baik belum adanya Engineering Estimate, persekongkolan dalam tender, dokumen yang tidak benar dan sejumlah PMH lainnya.
"4 kapal SKIPI itu diduga tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan dan dibutuhkan, misalnya kecepatan tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, markup volume plat baja dan aluminium dan kekurangan perlengkapan kapal lain," pungkas Saut.
Perkara korupsi kapal Ditjen Bea dan Cukai, Amir, Istadi dan Heru melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan, pada perkara korupsi kapal di KKP, Amir dan Aris disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
KEYWORD :
Kasus Korupsi Bea Cukai Pengadaan Kapal KPK