Uchok
Jakarta, Jurnas.com - Kekuatan lobi politik dinilai akan mendominasi dan menentukan dalam seleksi anggota dan pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dibanding kompetensi yang dimiliki para calon pimpinan lembaga auditor negara tersebut.
Demikian disimpulkan dalam diskusi publik bertema `BPK dalam Pusaran Kepentingan Politik dan Profesionalisme` di Gedung DPR, Jumat (12/7).
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan adu kekuatan lobi dalam setiap pemilihan pejabat publik bukanlah hal aneh di DPR.
Penegasan Uchon menyikapi masuknya seleksi calon pimpinan (capim) anggota BPK yang diwarnai dengan berbagai macam ketidaktransparan oleh Tim seleksi (Timsel). Salah satu indikasi ketidaktransparanan itu keanehan atas lolosnya 10 dari 32 calon capim BPK yang merupakan politisi calon legislatif (caleg) yang gagal lolos ke DPR di Pemilu 2019.
Uchok mengaku khawatir para caleg gagal gagal ini akan menggunakan kekuatan partainya dan relasi politiknya untuk meraih jabatan di BPK.
Karena itu Uchok meyakini setidaknya akan ada tiga orang dari 10 politisi yang mengikuti seleksi akan diloloskan dalam fit and proper test di Komisi XI DPR.
"Kenapa bisa terjadi seperti ini, karena memang saya lihat alat uji dari Tim Seleksi kelihatannya memang bukan untuk menguji kemampuan atau mencari anggota BPK sesuai dengan kemampuan," ujarnya.
Apabila dugaan itu benar terjadi, Uchok mempertanyakan mau dibawa kemana BPK nantinya kalau kekuatan lobi politik lebih menonjol ketimbang profesionalisme.
"Memang kelihatannya kekuatannya itu adalah bukan ke kapasitas tetapi kekuatannya adalah di lobi. Siapa yang kuat lobi itu yang akan akan masuk jadi pimpinan BPK," tegas Uchok.
Dia menegaskan kalau hanya mengandalkan kekuatan lobi maka BPK tidak bisa diandalkan sebagai lembaga audit keuangan negara yang mendukung pemberantasan korupsi.
Namun kekhawatiran Uchok ditepis anggota Komisi XI DPR Johnny G. Plate. Menurutnya, seleksi yang akan dilakukan Komisi DPR yang membidangi Keuangan negara itu atas atas dasar dokumennya bukan atas dasar kepentingan politis.
"kami pasrtikan semua calon diperlakukan sama. Semua kami seleksi berdasarkan kebutuhan dan kompetensi yang dimiliki. Tidak ada keberpihakan DPR baik itu dari parpol maupun non parpol. Semua diperlakukan sama sesuai Undang-Undang," ujar Politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini.
Johnny juga meyakinkan bahwa seleksi yang akan dilakukan Komisi XI DPR akan memperhatikan masukan dan seruan dari masyarakat. "Kami pastikan Komisi XI berusaha memperhatikan seruan masyarakat," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menyayangkan mereka yang memiliki sertifikat kompetensi dibidang auditing, yaitu pemilik sebutan Certified Public Accountant (CPA) yang sudah berpengalaman sebagai auditor malah tidak lolos di seleksi awal.
Padahal, para pemilik CPA itu selama ini telah menjadi bagian dari tim pemeriksa di BPK. "Untuk itu kami memberikan beberapa masukan terkait proses seleksi penerimaan anggota BPK ini," ujarnya.
Menurutnya, audit mandatory yang dilakukan oleh BPK adalah audit atas laporan keuangan. Setiap tahun BPK harus melakukan audit atas 542 laporan keuangan pemerintah daerah.
Selain itu ada 86 laporan keuangan Kementerian/Lembaga ditambah satu laporan keuangan Pemerintah Pusat. "Bicara soal audit laporan keuangan maka asosiasi profesi yang membidangi auditor laporan keuangan adalah IAPI, sehingga keterwakilan seorang auditor yang memegang sertifikasi CPA menjadi salah satu simbol komitmen bagi para pimpinan BPK dalam menerapkan profesionalisme dan menjamin kualitas pemeriksaan," ujarnya.
Sejak tahun 2009 menurut Tarko, dua orang pemegang CPA menjadi bagian dari kepemimpianan di BPK. Mereka adalah Sapto Amal Damandari dan Moermahadi Soerja Djanegara yang kini memimpin BPK.
"Dengan berakhirnya masa tugas Pak Moermahadi pada bulan Oktober 2019, praktis tidak satupun pemegang CPA dalam kepemimpinan di BPK," sebutnya.
KEYWORD :Seleksi Anggota BPK Komisi XI