Sabtu, 23/11/2024 04:30 WIB

IMLOW Usul Otoritas Pelabuhan Diurus Oleh Badan Setingkat Menteri

Perlu pemisahan regulasi kepelabuhanan dengan regulasi pelayaran.

Achmad Ridwan Tento, Sekjen Asosiasi Masyarakat Maritim, Logistik dan Transportasi atau Indonesia Maritime Logistic Transportation Watch (IMLOW).

Jakarta, Jurnas.com - Konsep pembangunan hukum kemaritiman Indonesia masa depan memerlukan adanya Undang-Undang (UU) Kepelabuhanan tersendiri, yang tepisah dengan UU Pelayaran.

Achmad Ridwan Tento, Sekjen Asosiasi Masyarakat Maritim, Logistik dan Transportasi atau Indonesia Maritime Logistic Transportation Watch (IMLOW), mengatakan, UU Kepelabuhanan diperlukan guna memberikan kepastian politik hukum yang berkaitan dengan investasi, tenaga kerja, perdagangan maupun kelancaran arus barang dan logistik di pelabuhan.

Dia mengusulkan, UU Kepelabuhan tersebut mencakupi adanya Badan Otoritas Pelabuhan (OP) yang independen serta bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Artinya peran dan fungsi OP perlu dilakukan penguatan.

"Kami usulkan OP harus berada dalam satu badan setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kemudian dengan menjadikannya Badan Otoritas Pelabuhan (BOP), diharapkan bisa sebagai lembaga yang independen dalam mengawal dan mengawasi seluruh regulasi yang berkaitan dengan kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia,"ujarnya di Jakarta, pada Senin (9/9/2019).

Menurutnya, dalam substansi UU No.17/2008 tentang Pelayaran, Otoritas Pelabuhan yang diamanatkan untuk bisa menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan, sama sekali tidak diberikan kewenangan tertinggi meskipun pelabuhan merupakan pintu masuk atau jantungnya perekonomian.

Ridwan mengatakan, IMLOW juga telah menyampailan usulan tersebut menindak lanjuti Surat No.B–816 M/Sesneg/D-1/HK.00.02/09/2019, untuk memberikan masukan regulasi prihal hukum kepelabuhanan kepada pemerintah dalam rangka regulasi yang perlu direvisi guna mendukung penciptaan dan pengembangan usaha khususnya terkait tenagakerja, investasi maupun perdagangan.

Menurutnya, UU Kepelabuhanan bertutujuan memberikan arah yang pasti secara politik dan hukum dalam pengembangan pelabuhan sebagai upaya meningkatkan daya saing secara global.

Terkait regulasi hukum kepelabuhanan, imbuhnya, negara mesti memiliki sikap guna membuat kebijakan yang baru, yakni memisahkan antara UU Kepelabuhanan dengan UU Pelayaran, mengingat peraturan hukum kepelabuhanan saat ini masih menggunakan pola lama, sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman yang sudah sampai ke revolusi industri 4.0 sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo.

IMLOW menilai, perlunya pemisahan regulasi kepelabuhanan dengan regulasi pelayaran, adalah suatu keharusan yang mendesak lantaran turunan PP No.61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan,hanya sekedar copy paste dari UU No.17/2008 tentang Pelayaran.

"Lingkup ini, adalah bagian besar dari politik hukum pembentukan hukum kemaritiman, yang merupakan alat, merespon bagaimana hukum yang dicita-citakan mampu mengatur kepelabuhanan masa depan,"ucapnya.

Dia menyatakan, untuk meningkatkan dan menunjang perekonomian, salah satunya adalah faktor kepelabuhanan yang diperlukan sebagai sarana arus barang masuk dan keluar penunjang perdagangan nasional maupun internasional.

Sesuai dengan Pasal 33 UUD-1945 ayat (4), bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Olehkarenanya, kata Ridwan, pelabuhan berperan strategis pada proses menciptakan efisiensi usaha melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distribution cost yang akan berdampak pada daya beli, hingga berimplikasi daya saing, multiplier effect terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional.

Pelabuhan merupakan sarana penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala global maupun regional. "Maka, pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat meningkatkan daya saing produk,"paparnya.

Ridwan menegaskan, konsentrasi masing-masing bidang sesuai dengan kompetensi keahlian akan menjadikan sistem produksi, distribusi dan transportasi menjadi lebih efisien, cepat, terkoordinir serta efektif, sehingga barang dapat diterima tepat.

 

Legalitas

IMLOW juga mempertanyakan mengapa kewenangan tertinggi pada Otoritas Pelabuhan tidak dibekali dengan legalitas dalam UU itu sendiri. Konsekuensi hal ini dalam praktiknya, penguatan peran dan fungsi lembaga itu sebagai regulator selama ini terkesan terabaikan.

"Kami melihat di lapangan, selama ini OP sebagai regulator di pelabuhan masih kalah wibawa dibandingkan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) sebagai operator di pelabuhan,"ucapnya.

Dia mengatakan, mengingat pelabuhan sebagai pintu gerbang untuk menunjang perekonomian Indonesia, maka negara harus memiliki sikap untuk menentukan kebijakan mendatang.

Sebab, imbuhnya, inti dari kinerja kepelabuhanan adalah kelancaran arus barang dan kalau hal ini tidak didukung melalui aturan hukum yang baru, maka praktik yang akan terjadi selanjutnya adalah masih tetap merupakan bagian dari pola-pola lama, yang beberapa puluh tahun tidak dirubah.

IMLOW menginginkan, kedepan hukum dalam kelancaran arus barang, yang dikemas dalam Hukum Kepelabuhanan, haruslah responsif yang merupakan tujuan dari realisme hukum (Legal Realism), adapun Hukum Responsif merupakan hukum yang bisa memenuhi kebutuhan sosial, mengakomodir berbagai kepentingan terutama masyarakat pelabuhan.

"Perspektif hukum yang responsif artinya pelabuhan memiliki fungsi sosial dan ekonomi,"paparnya.

Ridwan menambahkan, pelabuhan juga penting dari sisi politis. Artinya, dengan peran strategisnya sebagai pusat interaksi yang mempunyai nilai ekonomi dan urat nadi dinamika sosial-budaya suatu bangsa, pelabuhan bernilai politis strategis untuk dijaga dan dipertahankan eksistensi serta kedaulatannya.

Aturan-aturan pengelolaan pelabuhan yang berdaulat, transparan, aman, dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan asing serta dilakukan secara efektif dan efisien akan meningkatkan sisi politis yang positif bagi suatu negara tempat pelabuhan itu berada.

"Karenanya, politik hukum kedepannya dalam hal pembentukan atau reformasi hukum Kemaritiman bidang Kepelabuhanan haruslah akomodatif dan progresif," ujar Ridwan.

KEYWORD :

IMLOW Kepelabuhanan Otoritas Pelabuhan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :