Sabtu, 23/11/2024 07:49 WIB

Bambang Sadono Yakin Amandemen Terbatas UUD Tak Akan Melebar

Sadono mengatakan, selama ini ada kesalahan persepsi yang tumbuh di masyarakat terkait kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN. Padahal meskipun MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN, tidak berarti MPR menjadi lembaga tertinggi negara. 

Anggota Badan Pengkajian MPR RI DR. Bambang Sadono, SH., MH.

Yogyakarta, Jurnas.com - Anggota Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono meyakini amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 untuk memberi kewenangan MPR menetapkan GBHN tidak akan melebar kemana-mana.  Sebab,  untuk melakukan amandemen UUD sudah diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.

Dalam pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 diatur bahwa untuk amandemen UUD harus disebutkan secara jelas pasal yang akan diubah, alasan perubahan pasal,  dan bagaimana perumusan perubahan pasal.

"Jadi tidak mungkin melebar kemana-mana," ucapnya ketika berbicara sebagai narasumber dalam diskusi panel bertema "Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945" di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,  Yogyakarta,  Selasa (10/9/2019).

Sadono mengatakan, selama ini ada kesalahan persepsi yang tumbuh di masyarakat terkait kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN. Padahal meskipun MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN, tidak berarti MPR menjadi lembaga tertinggi negara. 

MPR menjadi lembaga tertinggi pada waktu lalu,  jelas Bambang,  karena MPR memiliki kewenangan memilih presiden dan wakil presiden. Sedangkan sekarang kewenangan itu sudah tidak ada sehingga tidak mungkin MPR menjadi lembaga tertinggi negara.

"Kesimpulan yang sudah kita sepakati adalah MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara melainkan lembaga dengan kewenangan tertinggi karena mempunyai kewenangan mengubah dan menetapkan UUD," katanya.

Kesalahan persepsi lainnya adalah ada sangkaan GBHN seperti masa Orde Baru. Kemudian alan ada evaluasi pelaksanaan GBHN setiap lima tahun dan evaluasi terhadap kinerja presiden.

"Istilah GBHN ini menimbulkan kesalahpahaman bahwa kita akan mengembalikan GBHN seperti pada masa Orde Baru. Padahal tidak seperti itu," ujarnya.

Menurut Bambang, MPR telah lama melakukan kajian reformulasi GBHN. Rumusan aslinya adalah reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN.

"Jadi tidak ada pemikiran mengembalikan GBHN seperti era Orde Baru," kata Sadono.

Sadono juga menjelaskan bahwa saat ini MPR telah sepakat bahwa haluan negara yang sifatnya makro dan berjangka panjang serta menyangkut seluruh aspek kehidupan bernegara ditetapkan melalui Ketetapan MPR.

"Haluan Negara itu isinya sangat singkat hanya sekitar 10 halaman. Isi Haluan Negara adalah program jangka panjang 25 atau 50 tahun yang akan datang dan bersifat mengikat semua lembaga negara. Haluan Negara itu akan menjadi landasan haluan pembangunan seperti GBHN pada masa lalu atau pembangunan jangka pendek dan menengah," tutur anggota DPD RI dari Jawa Tengah ini.

Sekarang, lanjutnya, menjadikan MPR memiliki kewenangan menetapkan haluan negara semavam GBHN tergantung pada kekuatan di MPR.

"Kalau DPR dengan jumlah anggota 575 orang setuju MPR diberi kewenangan menetapkan haluan negara semacam GBHN, ya pasti bisa," tutup Sadono.

Diskusi panel yang digelar MPR ini merupakan kegiatan dalam Festival Konstitusi dan Antikorupsi yang berlangsung di UGM,  10 -11 September 2019.

Narasumber lain dalam diskusi ini adalah Prof Dr Kaelan (Guru Besar Filsafat UGM) dan Prof Dr Ratno Lukito (Guri Besar UIN Sunan Kalijaga).

KEYWORD :

Festival Konstitusi dan Antikorupsi 2019 GBHN MPR




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :