Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid (Foto: Instagram)
Jakarta, Jurnas.com – Kontras, demikian sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi dua rancangan undang-undang (RUU), yakni RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang ada di atas meja Dewan Rakyat (DPR) RI saat ini.
Terkait RUU PKS, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid gembira atas ditundanya pengesahan RUU tersebut. Menurut dia, keputusan DPR tersebut merupakan keputusan yang bijak.
“RUU PKS telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam dari berbagai kelompok masyarakat, sehingga menurut pandangan kami perlu ada pendalaman lebih lanjut,” kata Zainut dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis (26/9).
Selain itu, lanjut Zainut, RUU PKS membutuhkan pembahasan yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapat menghasilkan RUU yang lebih baik dan komprehensif.
“Menurut pendapat kami penundaan RUU PKS juga karena harus menunggu pengesahan RUU KUHP. Karena beberapa pasal sanksi pidananya merujuk kepada pasal-pasal dalam KUHP agar sinkron,” imbuh Zainut.
Pandangan sebaliknya disampaikan Zainut terkait penundaan RUU KUHP. Dalam keterangannya, dia menyesesalkan pengesahan RUU KUHP ditunda.
Padahal, menurut Zainut, kebutuhan Indonesia memiliki UU KUHP yang berpijak pada nilai-nilai moral, agama, dan budaya sendiri sudah sangat mendesak.
“Bukan UU yang bersumber dari kolonial Belanda seperti KUHP yang kita gunakan selama ini,” kata dia.
Namun karena mengingat pertimbangan situasi yang tidak kondusif, maka MUI berharap DPR RI periode 2019-2014 dapat melanjutkan pembahasan RUU KUHP dengan lebih aspiratif, akomodatif, dan sempurna.
KEYWORD :RUU PKS KUHP MUI Zainut Tauhid