Pelajar melempari polisi dengan batu saat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Pejompongan, Jakarta, Rabu (25/9/2019). (Foto: Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso
Jakarta, Jurnas.com - Gelombang unjuk rasa yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia pada pekan ini yang diikuti dengan penangkapan ratusan massa aksi, membuat Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik meminta Polri tidak berbuat represif.
Pasalnya, sebagai alat negara yang dilengkapi dengan kemampuan khusus, pasukan yang terlatih serta rantai komando harus mampu meniadakan kekerasan yang seharusnya bisa dihindari sehingga tidak memicu emosi publik bahkan akan menggelar aksi untuk beberapa hari kedepan di wilayahnya masing-masing.
Anggota Ombudsman, Ninik Rahayu mengingatkan terhadap cara bertindak Polri dengan mendasarkan diri bahwa, dalam penanganan aksi unjuk rasa Polri pasti memiliki perencanaan yang dilengkapi dengan informasi dari intelijen. "Sehingga mampu untuk mempersiapkan jumlah personel sekaligus cara bertindak untuk menghadapi massa aksi," ujarnya dalam siaran persnya kepada jurnas.com.
Lebih jauh dari itu, tambah Ninik, upaya persuasif untuk mencegah meluasnya unjuk rasa hendaknya lebih dikedepankan. “Fungsi Intelijen dan Keamanan Polri memiliki peran tersebut, karena dapat melakukan penggalangan dan pengamanan agar unjuk rasa berjalan tertib. Sehingga tidak perlu memerlukan tindakan dalam rangka penegakan hukum” tambah Ninik.
Dalam kesempatan yang sama, Ninik meyakini Polri dapat bersikap profesional dengan mengedepankan langkah persuasif dengan menggunakan informasi intelijen yang akurat agar tidak salah dalam mengambil tindakan yang tegas, terukur serta tidak menggunakan opsi tunggal; penegakan hukum semata.
KEYWORD :Aksi Massa Bentrokan Demonstan Ombudsman Ninik Rahayu