Sabtu, 23/11/2024 15:56 WIB

APDHI Prihatin Pengimpor Sampah Plastik Makin Banyak

 Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun perlu segera direvisi.

Presiden Asosiasi Profesor dan Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Dr. Dini Dewi Heniarti, SH., M.Hum.

Jakarta, Jurnas.com - Disaat pemerintah dan masyarakat berkutat berusaha membebaskan diri dari sampah, terutama sampah plastik, para pengimpor sampah plastik justeru semakin banyak. Bahkan sampah-sampah plastik impor tersebut didiamkan lama dalam kontainer-kontainer di pelabuhan Indonesia.

"Kami sangat prihatin dan mendesak pemerintah untuk bertindak tegas kepada para pengimpor sampah plastik yang semakin lama semakin banyak dan bahkan diamkan dalam kontainer-kontainer di Pelabuhan Indonesia," kata Presiden Asosiasi Doktor dan Profesor Hukum Indonesia (APDHI), Dr. Dini Dewi Heniarti di Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Dini mengatakan, saat ini pemerintah dan masyarakat berupaya membersihkan sampah plastik, baik yang mencemari laut maupun sungai. Bahkan Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2018 tentang Percepatan, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, serta membuat program "Citarum Harum."

Namun, para pengimpor sampah plastik seakan menantang pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan lingkungan hidup dengan masalah impor plastik tersebut.

"Kita hidup dari dan bersama dengan lingkungan alam kita, air, udara, tanah, dan ekosistemnya. Tanpa lingkungan hidup yang baik dan sehat, hidup dan penghidupan kita akan terancam," katanya.

Menurut Dini, hak atas lingkungan hidup menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia,  sehingga telah menjadi hak konstitusional setiap warga negara. Sebagaimana ditegaskan di Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai implementasi dari kewajiban negara untuk menyediakan dan memenuhi lingkungan hidup yang baik dan sehat, diperkenalkan konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak di dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

"Strict liability adalah tanggung jawab mutlak yang dibebankan pada pihak baik perorangan atau korporasi karena terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berada di dalam rentang kendalinya,"  ujar Dini menjelaskan.

Dilihat dari kacamata Kepabeanan, limbah plastik yang terkontaminasi limbah B3 ini berpotensi membebani keuangan negara apabila kemudian atas barang tersebut ditetapkan menjadi Barang Milik Negara (BMN) yang pada ujungnya harus dimusnahkan dengan anggaran dari negara.

Dini menegaskan, jika penyesaian masalah kontainer yang berisi sampah plastik semakin berlarut, maka akan berdampak pada terganggunya kelancaran arus barang di terminal peti Kemas maupun fasililitas TPS di pabean Priok dan pelabuhan lainnya. Sehingga instansi berwenang harus segera bertindak cepat dan tegas.

"Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mesti menyatakan apakah kontainer impor limbah itu dapat direlease keluar pelabuhan atau harus dire-ekspor, mengingat dari jumlah peti kemas impor berisi sampah itu sudah banyak mengendap di terminal peti kemas maupun fasililitas TPS di pabean Tanjung Priok  dan pelabuhan lainnya," kata Dini.

Dini mengakui, mekanisme impor limbah telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31/M DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun. Pada aturan tersebut dikatakan bahwa impor sampah bisa dilakukan asalkan tidak mengandung limbah B3.

"Namun peraturan tersebut harus segera direvisi untuk perbaikan Lingkungan Hidup sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan hak warga negara dan kewajiban negara untuk menyediakannya, mengingat sampah plastik merupakan sampah yang sangat lama diurai oleh alam dan dapat mengganggu lingkungan hidup," ujarnya.

KEYWORD :

Sampah plastik APDHI lingkungan hidup reekspor




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :