Demonstran Hong Kong mengenakan topeng (Foto: BBC)
Hong Kong, Jurnas.com - Dua pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong ditangkap karena melanggar Undang-Undang Antitopeng. Keduanya muncul di pengadilan pada Senin (7/10), pasca kerusuhan akhir pekan yang melumpuhkan jaringan kereta api kota.
Pusat keuangan internasional tersebut sebelumnya dihebohkan dengan demo berujung kerusuhan selama tiga hari berturut-turut, menyusul diterbitkannya UU Antitopeng, yang melarang pengunjuk rasa mengenakan masker atau topeng ketika berdemo.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam, mengatakan langkah itu diperlukan untuk mencoba dan meredam empat bulan demonstrasi pro-demokrasi yang besar dan semakin keras.
Tetapi larangan itu tidak menghentikan kekacauan atau menghentikan kerumunan besar demonstran yang tetap mengenakan topeng. Kebijakan terbaru Lam dianggap simbol otoritarianisme.
Pada Senin (7/10) pagi, mahasiswa pria dan seorang perempuan berusia 38 tahun merupakan dua orang pertama yang didakwa dengan UU Antitopeng, karena mengenakan topeng secara ilegal.
Mereka berdua dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, dan dengan menentang larangan topeng, yang memiliki hukuman satu tahun maksimum. Keduanya dibebaskan dengan jaminan.
Di luar pengadilan, demonstran antri untuk masuk, beberapa slogan nyanyian seperti "mengenakan masker bukanlah kejahatan" dan "hukumnya tidak adil".
Dikutip dari Al Jazeera, banyak pihak yang memperkirakan bahwa larangan topeng merupakan regulasi pertama dari sekian banyak regulasi darurat lainnya yang akan diputuskan oleh pemerintah Hong Kong.
"Ini alasan untuk hanya memperkenalkan hukum totaliter lainnya, selanjutnya adalah darurat militer," teriak seorang pemrotes di luar pengadilan.
KEYWORD :Hong Kong Krisis UU Antitopeng