Didik J Rachbini
Jakarta, Jurnas.com - Ekonom Senior Indef, Prof. Didik J Rachbini mengingatkan, pemerintah yang sedang berkuasa tak boleh mengklaim sepihak kebijakan dan program BPJS yang sedang dijalankan. Sebab program ini adalah buah perjuangan reformasi sekitar 20 tahun lalu, ketika amandemen UUD 1945 diselesaikan.
"Amandemen UUD 1945 pada masa reformasi tersebut langung mengamanatkan agar pemerintah dalam hal ini Presiden untuk menjalankan program jaminan sosial dan kesehatan, sesuai pasal 28H," ujar Didik dalam catatan yang diterima jurnas.com, Rabu (30/10/2019).
Ia menegaskan, BPJS ini berbeda dengan ratusan atau ribuan program di dalam APBN. Sebab amanat untuk menjalankan kebijakan ini bersifat langsung sehingga jika presiden tidak melaksanakannya, itu berarti melanggar undang-undang dasar, dalam hal ini pasal 28H UUD 1945.
"Pasal tersebut mendapat perhatian khusus dalam amandemen UUD 1945 dan langsung sebagai amanat tertinggi yang harus dijalankan oleh presiden," tegasnya.
Pasal 28H UUD 1945 yang dimaksud Didik itu berbunyi: "Ayat 1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; ayat 3) Setiap arang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat."
Menurut Didik, jika karena sebab-sebab manajemen kebijakan BPJS bangkrut dan berhenti, maka secara ketatanegaraan, presiden dapat dikenakan tudingan melanggar undang-undang dasar.
Ia mengingatkan, BPJS ini berbeda dengan kebijakan populis presiden. Sedangkan jika presiden mengurangi atau menghentikan dana desa, dana alokasi khusus, subsidi untuk BUMN dengan nama PMN, atau mengurangi raskin, maka tidak ada delik khusus karena tidak ada secara eksplisit di dalam undang-undang dasar.
"Tetapi jika BPJS berhenti, maka presiden melanggar pasar 28H, ditambah lagi pasal yang memperkuat, yakni pasal 34 ayat 2," tegasnya.
Pasal 34, ayat 2 berbunyi: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Didik mengakui, sudah 30 tahun kebijakan BPJS tidak berhasil dijalankan, karena alasan tidak ada dana yang cukup untuk menjalankannya. Sebab Indonesia tergolong kelompok berpenduduk paling besar di dunia.
Baru pada masa reformasi, kebijakan ini ditetapkan dalam UUD 1945 tetapi sulit dilaksanakan pada masa Habibie, Gus Dur, dan Megawati karena krisis ekonomi.
Di masa SBY, tutur Didik, pogram ini dijalankan karena menyadari bahwa jaminan sosial kesehatan adalah amanah langsung dari undang-undang dasar. Tetapi menteri keuangan pada waktu itu keberatan, karena merasa akan membangkrutkan APBN, meskipun akhirnya terlaksana sampai masa Jokowi sekarang ini.
"Tetapi BPJS pada masa sekarang menjadi kisruh dan dibiarkan begitu saja tanpa perhatian, dukungan, dan tanpa uluran tangan pemerintah secara seksama," tegasnya.
Kata Didik, pemerintah sebenarnya bisa mencontoh banyak negara lain, yang sudah menjalankan kebijakan jaminan sosial dan kesehatan ini sejak 1 abad lamanya.
"Kita baru saja menjalankannya tapi sudah bermasalah berat, yang bisa membangkrutkan BPJS," ucapnga.
Sebagai solusi, Didik menyampaikan bebefapa hal. Pertama, mulai dari visi pemerintan dan presiden bahwa BPJS adalah amanat undang-undang dasar dan karenanya harus hidup terus dan berjalan untuk kemanfaatan sosial rakyat banyak.
Dengan visi ini, lanjutnya, semua mesti mengerti bahwa implementasi pasal 28H dan pasal 34 ayat 2 jauh lebih penting dari program lain seperti dana desa, yang tidak husus disebut sebagai amanah uud 1945. Program ini tidak bisa tidak, harus terus berjalan. Tidak ada alasan apa pun untuk berhenti. Adapun soal iuran naik itu hanya soal teknis.
"Jika iuran naik dipersoalkan dan tanpa solusi dan ditentang banyak orang, maka ini hanya gaya agitatif yang tidak bermanfaat," ucapnya.
Menurut Didik, iuran naik adalah inisiatif solusi tetapi hanya satu solusi kecil. Perubahan kebijakan ini bisa dijalankan dan abaikan saja kritika yang tidak berguna.
Sedangkan golongan yang tidak mampu bisa disubsidi iurannya, khsususnya golongan miskin, yang sudah tercatat di dalam data BPS, penerima raskin, dengan ciri pemilikan aset yang rendah, terutama yang tidak punya motor, rumahnya berlantai tanah, jamban sederhana dan sederet kriteria miskin lainnya. Golongan ini harus mendapat perhatian.
Bagi Didik, golongan yang mampu sekarang menjadi parasit BPJS. Pejabat BPJS masih awam, tidak mengenali ada moral hazard yang sangat besar dan berat di dalam sistem BPJS.
"Selama ini tidak diselesaikan, maka BPJS gampang bangkrut. Jadi, golongan yang mampu (kebanyakan sekarang menjadi parasit dan melakukan moral hazard) dengan income menengah dengan ciri punya motor, mobil, rumah bagus perlu dinaikkan lebih besar lagi," katanya.
Didik memberi penekanan pada pentingnya membuat kategorisasi masyarakat mampu dan tidak mampu. Hal ini memang erat, namun jika tidak mampu mengkatagorikan seperti ini, kata Didik, maka BPJS selesai.
Ia juga menyebut BPJS rancangan kelembagaannya sudah salah kaprah sejak awal, dan memakai gaya politik populis naif. Karena itu ia menilai hal harus diubah, subsidi tidak boleh diberikan kepada golongan mampu sehingga yang kaya harus membayar tinggi, masuk ke skema komersial agar mengurangi beban pemerintah.
Menurutnya, setidaknya sepertiga penduduk harus masuk komersial. Sebab kelompok ini adalah golongan profesional akuntan, arsitek, dokter, pegawai negeri golongan atas, guru dengan tunjangan profesi yang tinggi, juga pegawai swasta dengan gaji tinggi.
"Skema komersial mesti dijalankan dan golongan kaya tidak boleh masuk skema subsidi sehingga BPJS bisa bernafas. Yang disubsidi adalah golongan miskin yang masuk dalam kriteria miskin," ungkapnya.
Lebih jauh ia menilai pemerintah harus mengalokasikan anggaran kepada BPJS lebih besar lagi, karena program ini adalah amanat langsung (direct) dari undang-undang dasar.
Bagi Didik, ada banyak pos, bahkan ada ratusn jenis anggaran yang bisa dikurangi karena tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat.
"Contohnya, kurangi dari subsidi kepada BUMN (Penanaman Modal Negara/PMN) yang menelan puluhan triliun dana negara, dari alokasi dana khusus yang tidak efisien, ditarik dari ratusan dana daerah yang dipendam di perbankan," tegas Prof. Didik J Rachbini.
BPJS UUD 1945 Indef